Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pesan untuk Para Pendaki: Pahami Kompetensi Ini Sebelum Naik Gunung

KOMPAS.com - Beberapa waktu lalu, meninggalnya seorang pendaki di Gunung Lawu, diduga karena mengalami Paradoxical Undressing Syndrome, menjadi perhatian publik. 

Setelah ia ditemukan meninggal dunia. Bereda video yang merekam keadaan pendaki tersebut.

Dalam narasi video yang beredar di media sosial itu, disebutkan rombongan pendaki asal Ungaran tidak sengaja bertemu dengan korban dalam kondisi sendirian dan tak mengenakan baju. Ia melepas pakaian yang dikenakannya untuk membawa ranting-ranting pohon cantigi.

Secara fisik, korban terlihat kedinginan, karena menggigil dan menggosok-gosokkan tangannya.

Namun, mereka yang melihatnya mengaku heran mengapa ia justru melepas bajunya untuk membungkus kayu.

Saat itu, di lokasi yang berbeda, rekan pendakian korban masih mencari keberadaan korban yang terpisah sejak dini hari, namun tidak juga ditemukan.

Tidak menyadari keganjilan yang terjadi, rombongan pendaki asal Ungaran itu lalu  melanjutkan perjalanannya setelah beberapa saat mengobrol dengan korban.

Hingga akhirnya, jasad korban ditemukan oleh rombongan yang sama sudah tergeletak dengan kondisi sama seperti saat ditemui sebelumnya, tanpa mengenakan baju.

Pahami kondisi saat mendaki

Menurut pendaki, yang juga anggota senior dari Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI), Adi Seno,  kejadian yang menimpa pendaki di Gunung Lawu itu merupakan hipotermia.

"Fenomena yang di Lawu beberapa kali terjadi, karena hipotermia yakni penurunan suhu inti tubuh di mana ada gejalanya malah sensasi panas, ini dari literatur medis. Mirip ketika terkena sengatan beku (frost bite), ada rasa seperti terbakar atau saat pegang es, biang es kesannya pana," jelas Adi saat dihubungi, akhir Juli lalu.

Menurut Adi, untuk menangani pendaki yang terserang hipotermia kuncinya hanya satu, memberinya energi panas.

Hal itu bisa dilakukan di antaranya dengan memintanya masuk ke dalam tenda agar terlindung dan mengurangi terkena udara dingin.

Atau, masuk ke dalam kantong tidur yang cenderung lebih hangat.

"Nah kalau sudah kena "jendelanya" pendek. Penanganan juga sulit. Harus terlindung  dengan cara masuk tenda dan pakai sleeping bag, dapat sumber panas misalnya dari asupan makan, minum panas, kontak dengan radiasi panas-api, sumber lain seperti panas tubuh, yang ini kerap disalahartikan dan dimanipulasi," papar Adi.

Cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan mengosok-gosokkan bagian ujung tubuh, seperti telapak tangan dan kaki.

"Seperti kita menggosok ujung-ujung tubuh yang edaran darah yang terjauh, supaya darah beredar yang bawa oksigen untuk menghasilkan energi/kalori panas. Tindakan bagi yang terkena gejala sengat beku," papar dia.

Namun, Adi menyebut hal ini adalah ranah medis.

Pada intinya, orang-orang bisa mendeteksi hipotermia dari gejala awal seperti kedinginan, merasa lemas, dan hilangnya keseimbangan.

Akan tetapi, gejala hipotermia ini sulit untuk didiagnosis oleh mereka yang awam.

Salah satu kekeliruan yang masih banyak terjadi di Indonesia menurutnya adalah banyaknya orang yang menganggap enteng gunung di wilayah tropis.

Misalnya, banyak yang tidak memperhatikan jenis pakaian yang digunakan.

"Pendaki bisa meremehkan gunung tropis, padahal di ketinggian 2.000 meter ke atas bisa terbentuk iklim musim dingin," ungkap Adi.

Selain itu, menurut dia, banyak juga yang tak memberikan perhatian serius pada gangguan kesehatan yang mungkin dialami saat mendaki.

"Apalagi kalau bukan di gunung salju, di mana kita mudah mengasumsi ketidaksehatan karena cuaca dingin," ucapnya.

Padahal, bisa saja hal itu adalah hipotermia yang salah satu cirinya memang mengalami kedinginan.

Jadi, tidak sembarang orang bisa melakukan kegiatan alam ini karena ada risiko keselamatan yang akan dipertaruhkan.

Alasannya, gunung adalah alam terbuka yang kondisinya bisa berubah setiap waktu dan di luar kendali manusia.

Pendaki juga perlu mengetahui medan dan cuaca yang berbeda saat ia mendaki, dibandingkan jika berada di dataran rendah.

"Mendaki gunung itu kompetensi yang dibentuk dari pengetahuan geologi geomorfologi- disebut juga ilmu medan, iklim dan cuaca, risk management, keterampilan, teknik hidup di alam, safety di keterjalan dan penyeberangan sungai, P3K, manajemen, dan attitude," jelas Adi.

Jika semua itu belum dikuasai, ia menyarankan agar memahami kode etik pencinta alam, yakni bertanggung jawab terhadap sesama, budaya, dan lingkungan.

"Jadi kalau belum ada kompetensi ini silakan gabung klub pendaki yang menseminasi kompetensi ini. Bisa juga meminta orang dengan kompetensi mountain leader atau pemandu gunung untuk mengantar/menemani," kata Adi.

https://www.kompas.com/tren/read/2020/08/11/090524965/pesan-untuk-para-pendaki-pahami-kompetensi-ini-sebelum-naik-gunung

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke