Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Risiko Penugasan Dokter PPDS Saat Pandemi

PANDEMI Covid-19 tengah melanda bangsa Indonesia sejak awal Maret yang lalu. Angka kesakitan dan kematian terus meningkat setiap harinya.

Berbagai upaya telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun seluruh masyarakat Indonesia, namun belum nampak tanda kapan bencana ini akan berakhir.

Para dokter dan petugas kesehatan terus berjuang untuk menangani kasus Covid-19 baik di fasilitas kesehatan komunitas maupun di rumah sakit rujukan.

Rumah sakit pendidikan utama yang tersebar di Indonesia juga merupakan rumah sakit rujukan yang diandalkan dalam memberi pelayanan Covid-19 di samping juga tetap melayani kasus rutin non-Covid-19. Kasus-kasus rutin ini tentu juga memerlukan perhatian dan penanganan.

Dalam situasi pandemi ini, seluruh dokter dan petugas kesehatan perlu berpikir kemungkinan Covid-19 saat melayani pasien, apapun keluhan dan penyakitnya.

Setiap pasien, apapun diagnosis utamanya dapat disertai Covid-19 dengan atau tanpa gejala. Ini akibat penyebaran dan penularan Covid-19 yang sudah sedemikian luasnya.

Pasien yang datang berisiko tertular Covid-19 karena pada orang sakit umumnya terjadi penurunan daya tahan tubuh.

Rumah sakit pendidikan

Rumah sakit pendidikan spesialis tersebar di 17 kota besar di Indonesia. Seluruhnya didukung cukup jumlah sumber daya dan mumpuni dalam kompetensi.

Pendidikan kedokteran terkait erat dengan pelayanan kesehatan. Keduanya mengalami dampak yang luar biasa.

Rumah sakit pendidikan menjadi tumpuan harapan penanganan Covid-19 sementara tetap mempertahankan kelangsungan proses pendidikan.

Peserta pendidikan dokter spesialis (PPDS), dalam hal ini menjadi tenaga andalan yang memberi pelayanan dalam rangkaian pendidikannya melalui proses pengayaan, magang, dan mandiri.

Dalam situasi pandemi ini perlu dilakukan penilaian dan pengelolaan risiko pandemi terhadap PPDS meliputi risiko paparan, kebijakan pertanggungan keselamatan, dan upaya kelangsungan pendidikan.

Perlu dicermati pula kemungkinan terjadinya gangguan terhadap kesehatan, gangguan terhadap proses pendidikan dan pelayanan, adanya peraturan pemerintah yang perlu disikapi, dan identifikasi dampak secara keseluruhan.

Pemetaan risiko

Sebagai gambaran umum, bisa dilihat hasil pemetaan data staf pengajar dan peserta pendidikan dokter spesialis (PPDS) di RS pendidikan. Secara keseluruhan di Indonesia diperkirakan terdapat kurang lebih sekitar 4.500 staf pengajar dan kurang lebih 13.000 orang PPDS.

Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) melakukan pemetaan periode 17 April sampai dengan 9 Mei 2020 terhadap 3.079 staf pendidik dan 8.369 PPDS yang mewakili institusi pendidikan dokter spesialis (16 Universitas).

Pemetaan ini juga melibatkan 27 dari 35 kolegium/pengampu keilmuan dan 162 dari 252 program studi pendidikan dokter spesialis. Pemetaan ini menggambarkan besarnya risiko terpapar Covid-19 pada staf pengajar dan PPDS.

Dari data staf pengajar, 16,1 persen berstatus orang tanpa gejala (OTG), 2,3 persen berstatus orang dalam pemantauan (ODP), 0,1 persen berstatus pasien dalam pengawasan (PDP), dan 0,4 persen terkonfirmasi positif Covid-19.

Secara keseluruhan terdapat 18,9 persen staf pengajar terpapar Covid-19. Data PPDS menunjukkan 21,5 persen PPDS terpapar Covid-19 dengan rincian 15,9 persen OTG, 4,4 persen ODP, 0.5 persen PDP, dan 0.8 persen terkonfirmasi positif.

Data pemetaan tersebut memperkirakan, 6.600 staf pengajar dan PPDS terpapar Covid-19 tersebar di 17 Institusi pendidikan.

Meningkat dari data sebelumnya

Angka yang didapat pada periode ini menunjukkan perbedaan yang mencolok dari data pemetaan bulan sebelumnya.

Secara umum paparan menurun, namun kejadian konfirmasi positif untuk staf meningkat 5 kali lipat dari 3 menjadi 15 kasus.

Untuk PPDS meningkat 10 kali lipat dari 6 menjadi 64 kasus. Total staf dan PPDS yang terkonfirmasi positif sebanyak 79 orang.

Angka perkiraan bila dihitung untuk seluruh program studi di Indonesia sekitar 218 kasus. Kondisi ini selaras dengan peningkatan jumlah pasien dan jumlah tes yang dilakukan dibandingkan dengan bulan sebelumnya.

Para PPDS adalah dokter yang sedang melaksanakan proses pendidikan dengan melakukan pelayanan di rumah sakit pendidikan.

Pada diri mereka melekat tugas dan tanggung jawab yang terstruktur dan terjadwal. Dalam situasi pandemi ini PPDS tetap memberi pelayanan kepada pasien di bawah supervisi dokter penanggung jawab pasien (DPJP).

Situasi ini membuat PPDS menjadi orang yang berpotensi tertular Covid-19 dari pasien yang dilayaninya.

Pasien dari bidang keilmuan masing-masing yang datang mungkin juga sudah tertular Covid-19, sehingga diperlukan kehati-hatian dalam setiap pelayanan.

Identifikasi harus dapat dilakukan untuk memastikan status Covid-19 pada pasien yang datang dengan atau tanpa keluhan terkait Covid-19.

Potensi mengganggu pelayanan

Situasi ini dapat menimbulkan gangguan pada pelayanan. Saat ini sudah ada kebijakan membatasi pelayanan elektif dengan prioritas hanya pada kasus gawat darurat.

Tentu hal ini akan sangat merugikan, bukan hanya bagi pasien non-Covid-19 namun juga bagi PPDS perlu mencapai kompetensi yang diharapkan selama masa pendidikan.

Penurunan jumlah pasien non-Covid-19 memungkinkan terjadi masalah yang serius bagi pasien berupa keterlambatan dalam penanganan. Hal ini dapat merugikan maupun fatal.

Perlu disiapkan rumah sakit non-Covid-19 untuk tetap terjaminnya pelayanan pada pasien non-Covid-19 sekaligus sebagai tempat pendidikan PPDS dalam upaya memenuhi kompetensinya.

Kebijakan penanggulangan keselamatan PPDS sedapat mungkin dimulai dengan pengaturan jadwal dan waktu kegiatan untuk mengurangi frekuensi keterpaparan dan mencegah timbulnya kelelahan yang bisa menurunkan daya tahan tubuh.

Secara teoritis terjadinya infeksi virus sama dengan keterpaparan virus dikali dengan frekuensi.

Berikutnya, PPDS perlu diberi pembekalan mengenai Covid-19 baik untuk bidang yang terkait langsung dengan Covid-19 maupun yang tidak.

Dalam praktiknya, ini harus disertai dengan program skrining berkala bagi PPDS yang kemungkinan terpapar kasus Covid-19. Perlu diupayakan adanya jaminan dari pihak berwenang baik lokal maupun nasional apabila tertular atau sakit.

Tiga tahap penapisan

Penapisan atau skrining pada pelayanan dilakukan dengan tiga tahap meliputi triage, ruangan penanganan, dan di ruang perawatan.

Pasien yang dihadapi adalah pasien rujukan yang telah diduga atau terdiagnosa Covid-19 atau pasien mandiri yang belum jelas Covid-19 atau bukan.

Diperlukan alur penanganan yang jelas untuk implementasi ini. Pada setiap tahapan skrining, PPDS dibekali dengan alat pelindung diri (APD) yang sesuai dan memadai.

Alat pelindung diri harus disesuaikan dengan tempat pelayanan dan tingkat risiko paparan dengan pasien bergejala maupun tidak, pasien Covid19, atau pasien non-Covid-19 yang sudah diketahui positif maupun yang belum diketahui. Untuk hal ini diperlukan kejelasan perlindungan bagi PPDS.

Penggunaan APD ada 3 tingkat perlindungan.

Perlindungan tingkat 1 terdiri dari penutup kepala, masker bedah, sarung tangan, baju kerja, dan alas kaki.

Perlindungan tingkat 2 terdiri dari penutup kepala, google, masker N95, sarung tangan, apron atau gown, dan alas kaki.

Perlindungan tingkat 3 terdiri dari face shield, google, masker N95, sarung tangan, hazmat/cover all jumpsuit dan sepatu boots.

Hal yang harus dipatuhi dalam penggunaan APD menyangkut: tetapkan indikasi penggunaan dengan mempertimbangkan risiko terpapar dan dinamika transmisi, cara memakai yang benar, cara melepas yang benar dan cara mengumpulkannya dengan benar setelah dipakai.

Penggunaan APD adalah sebagai pelindung namun masih bisa juga tertular atau menjadi media penularan bila penggunaannya tidak tepat dan tidak benar.

Tiga zonasi

Di dalam rumah sakit terdapat tiga zonasi yang sudah dikenal, yaitu zona merah untuk area infeksius, zona kuning untuk area campuran infeksius dan non-infeksius, serta zona hijau yang merupakan area non-infeksius.

Sistem zonasi harus diberlakukan secara jelas dan tegas pada berbagai wilayah di dalam rumah sakit. Jangan sampai zona wilayah tersebut dilanggar dan tercampur.

Zona merah dan zona hijau harus terpisah dengan tegas.

Dokter yang bekerja di zona hijau tidak ada kekhawatiran tertular. Sehingga pelayanan pasien non-Covid dapat berjalan dengan aman.

Pengaturan zonasi yang tidak jelas dan tidak tegas akan menimbulkan kekhawatiran dan juga potensi penularan terutama bagi dokter yang bertugas dan juga pasien lainnya.

Situasi pandemi ini membuat para PPDS punya risiko terganggu kesehatannya secara fisik dan mental. Gangguan mental dapat mencakup kecemasan atas keselamatan dirinya sendiri, keluarganya, sejawatnya, dan juga pasiennya.

Juga ada kekhawatiran terkait capaian kompetensinya dalam pendidikan dan kemungkinan adanya perpanjangan masa studi berserta imbasnya pada biaya pendidikan dan biaya hidupnya.

Untuk hal tersebut sudah ada mekanisme perlindungan dari institusi pendidikan/ universitas, rumah sakit dan pemerintah dalam hal ini kementerian kesehatan (Kemenkes). Ada kebijakan menanggung skrining dan tes, bila positif akan dilakukan isolasi/perawatan.

Bila ada paparan yang menjadi peluang ditulari dan menularkan, disediakan fasilitas karantina di hotel/ tempat penampungan supaya tidak kontak dengan keluarga terkait risiko penularan di rumah.

Mengelola risiko

Capaian kompetensi diupayakan dengan melakukan pengaturan dan penyesuaian dengan situasi. Diharapkan kompetensi wajib yang belum tercapai dapat dipenuhi setelah masa pandemi usai atau memanfaatkan rumah sakit jejaring pendidikan yang dinyatakan sebagai rumah sakit non-Covid-19 untuk pemenuhan kompetensinya.

Perpanjangan masa studi dicarikan solusi dengan model pembelajaran dan sistem evaluasi seperti ujian nasional dengan model online.

Bila tidak dapat dihindari, perpanjangan masa studi dibuat kebijakan kelonggaran dalam kriteria tepat waktu dan batas waktu studi yang fleksibel.

Terkait dengan pembiayaan SOP, diusahakan dapat diberikan keringanan, kelonggaran atau dibebaskan selama masa pandemi ini. Disamping itu sudah ada insentif dan jaminan kesehatan dari Kemenkes bagi dokter yang memberi pelayanan Covid-19.

Dengan melakukan pengelolaan risiko bagi PPDS yang mengikuti proses pendidikan sekaligus pelayanan terhadap pasien, dapat diidentifikasi berbagai dampak yang terjadi.

Upaya harus dilakukan untuk meminimalkan risiko yang terjadi sehingga proses pendidikan dapat terus berjalan di masa pandemi yang belum diketahui kapan berakhirnya.

Dilakukan berbagai upaya penyesuaian untuk mendapat model yang sesuai dan memenuhi capaian kompetensi seperti standar yang diberlakukan pada proses pendidikan, dengan memperhatikan kesehatan dan keselamatan PPDS.

Salam sehat!

https://www.kompas.com/tren/read/2020/05/19/070000865/risiko-penugasan-dokter-ppds-saat-pandemi

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke