Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tertawa dalam Kemanusiaan

“Sebuah hari tanpa tertawa adalah hari yang tidak berguna . Penderitaanku mungkin menjadi alasan kamu tertawa. Tetapi tertawaku bukan karena penderitaan orang lain.“

Cuplikan kata-kata dari Charlie Chaplin di atas menunjukkan bahwa membaca perilaku tertawa adalah sebuah bentang paradoks yang sangat luas untuk ditafsir dalam perspektif kemanusiaan, khususnya membaca gejala begitu banyak meme di media sosial yang melahirkan tawa di tengah krisis berkait corona.

Meme di media sosial terbaca sangat beragam, baik meme berkait panduan komunikasi, peran partai politik, psikologi ibu-ibu mengajar anak-anak hingga masker.

Sebutlah surat terbuka ibu-ibu yang menertawakan kerepotan mendampingi anak-anaknya belajar di rumah sekaligus renungan dan pujian pada peran guru.

Sebutlah juga meme sejumlah anak muda dengan masker bergambar partai politik untuk mengkritik peran partai politik di situasi sekarang.

Ataupun meme sarkastis, video pendek seorang ibu di tengah kampung sepi diam-diam mengambil celana dalamnya untuk dijadikan masker penutup mulut.

Tertawa telah menjadi sejarah kajian budaya, psikologi, kesehatan hingga filosofi.

Katarsis

Tertawa sering dianggap sebagai katarsis, yakni pembersihan diri ataupun pelepasan dari ketegangan dalam menghadapi krisis, namun juga bisa menjadi sebaliknya, pelepasan untuk kemudian bertindak dan berpikir negatif atau tidak peduli terhadap segala upaya pemecahan masalah krisis.

Harus dicatat, tertawa sering disebut sebagai medium terbesar tanpa membayar untuk mengurangi stres, menumbuhkan imunitas, melancarkan peredaran darah, bahkan mengembangkan keterampilan sosial di tengah krisis untuk menghidupkan kerja pemecahan masalah dengan gembira serta tidak panik.

Terkait dengan kepedulian dan penderitaan, Karl Marx menyebut dengan jelas kekuatan tertawa: “Orang-orang yang membuat Anda tertawa membantu Anda ketika Anda membutuhkan. Orang–orang yang benar-benar peduli. Mereka orang yang layak diingat.“

Tertawa dalam relasinya dengan kepedulian kemanusiaan sesungguhnya tidaklah gampang dirumuskan.

Budaya

Tertawa adalah laku budaya yang mempunyai ruang tafsir berbeda, baik tempat, waktu hingga latar budaya, politik dan pendidikan.

Simaklah, para politikus Australia sering tidak bisa mengerti melihat elite politik Indonesia yang tertawa–tawa ketika menghadapi krisis, bahkan ketika konferensi pers.

Paradoks tertawa telah diceritakan oleh para filsuf sejak jaman Yunani kuno, guna mengingatkan kemampuan mengendalikan tertawa dalam kemanusiaan agar tidak menjadi sebuah tragedi.

Sebutlah, kematian pelukis Zeuxis zaman Yunani kuno selepas menertawakan wanita tua renta untuk dilukis sebagai Aphrodite yang cantik jelita.

Kisah ini menginspirasi pelukis Rembrandt lewat karya bertajuk ”self- potrait as Zeuxis“.

Sejarah mencatat, tertawa adalah modal budaya bangsa terbesar bangsa Indonesia, terlebih di tengah krisis kemanusiaan akibat Corona.

Saatnya mengelola budaya tawa dalam media sosial, relasi kendali kebersamaan kemanusiaan guna menjadi keterampilan sosial menumbuhkan kerja bersama menghadapi krisis dalam keindahan kemanusiaan.

https://www.kompas.com/tren/read/2020/03/31/171733865/tertawa-dalam-kemanusiaan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke