Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pilpres dan Kedewasaan

Tahun 2024, hari Dewasa jatuh pada 8 Januari. Saya beruntung karena hari Senin libur, maka bisa menonton streaming debat ke-3 dengan leluasa.

Sedikit cerita hal ini, sebelum tahun 2000, hari Dewasa ditetapkan pada 15 Januari. Karena ada kebijakan Happy Monday, maka setelah tahun 2001, tanggal perayaan berubah menjadi setiap hari Senin ke-2 bulan Januari.

Batas umur dewasa juga berubah. Mulai tahun 2022, orang berusia 18 tahun dianggap sebagai dewasa. Sebelumnya, orang dianggap dewasa jika sudah berusia di atas 20 tahun.

Dengan predikat "dewasa", maka beberapa keuntungan dapat diperoleh. Antara lain, mereka mempunyai hak untuk ikut pemilu, dapat menikah, menyewa apartemen/kos dan membuat perjanjian untuk membeli (nomor) telepon tanpa tanda tangan (persetujuan) orangtua.

Saya mengawali tulisan perihal hari Dewasa karena Minggu malam, beberapa kali kata "etika" muncul pada perdebatan.

Etika, saya anggap berhubungan dengan kedewasaan. Alasannya, karena menurut KBBI daring, definisi etika adalah tentang apa yang baik serta buruk dan hak serta kewajiban moral.

Sekali lagi menurut definisi KBBI daring, dewasa adalah hal kematangan, baik pikiran, pandangan, dan sebagainya.

Setiap perkataan maupun tindakan orang dewasa, harus mencerminkan kematangan itu. Otomatis juga, orang yang dewasa tentu menjalankan etika dengan baik.

Berbicara perihal kedewasaan dari acara debat Minggu malam, saya kok susah menemukannya di sana. Impresi pertama debat tersebut adalah gaduhnya suasana, terutama teriakan para pendukung yang berada di lokasi.

Saya tidak menghitung, namun ujaran moderator "harap tenang!" berkali-kali yang membekas pada ingatan.

Karena kegaduhan seperti itu sudah terjadi pada debat sebelumnya, saya menjadi bertanya-tanya dalam hati. Apakah orang terlalu bersemangat sehingga lupa diri akan sopan santun yang sudah lama menjadi bagian dari kebudayaan kita? Atau, memang kita suka hal-hal gaduh, entah di daring maupun di dunia nyata seperti di arena debat itu?

Jika sudah menyatakan diri sebagai orang dewasa, maka hal-hal yang bisa mengganggu suasana debat, sedapat mungkin harus kita hindari.

Saya juga baru tahu bahwa ada penambahan peraturan debat, yaitu kandidat harus menjelaskan jika pertanyaan menggunakan singkatan/terminologi.

Penambahan peraturan saya kira tidak perlu terjadi, jika capres/cawapres yang berdebat mempunyai sifat dewasa.

Perdebatan adalah tukar pendapat mengenai suatu hal dan memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing.

Ketika bertukar pendapat, kandidat harus menyatakan pertanyaan (atau keberatannya) dengan lugas dan gamblang kepada lawan bicara.

Karena debat, apalagi sekelas debat pilpres bukanlah untuk ajang tanya jawab, dan bersorak-sorai ketika lawan debat tidak tahu apa yang ditanyakan (misalnya karena menggunakan terminologi).

Sebagai orang muda, saya telah menuliskan dukungan kepada pemuda untuk berpartisipasi pada kegiatan apapun pada artikel terdahulu.

Apalagi untuk perhelatan pilpres, meskipun ada polemik yang terjadi, sekarang umur bukan halangan.

Namun, perlu diingat bahwa kedewasaan wajib dimiliki. Pemuda bisa dianggap dewasa, berdasarkan perbuatannya. Sebaliknya, bisa juga dianggap bocah karena kelakuannya juga.

Saya sudah membaca visi dan misi masing-masing pasangan, karena datanya tersedia dan mudah diakses oleh siapa pun.

Topik debat ketiga, yaitu tentang pertahanan, keamanan, hubungan internasional dan geopolitik, sebenarnya menarik karena pas dengan situasi dan kondisi dunia saat ini.

Artinya, dalam suasana dunia setelah pandemi yang menguras tenaga dan biaya, bagaimana upaya mewujudkan atau melaksanakan tema yang diangkat pada debat.

Di tengah pergolakan dunia, misalnya, perang antara Rusia dan Ukraina, serta konflik Israel dan Palestina, hal ini menjadi penting.

Catatan saya, ketiga capres menyinggung masalah Palestina dan Gaza dalam pernyataannya pada arena debat.

Ini dapat dimaklumi karena bagi kandidat, saat pemilu rakyat memang subjek yang harus dibuat senang (baca:dipuaskan). Entahlah kalau sudah terpilih nanti. Jangan sampai berubah 180 derajat, yaitu rakyat hanya menjadi objek yang harus gigit jari.

Saya tidak ingin masuk pada masalah tersebut karena konflik terlalu kompleks. Sehingga banyak perspektif yang bisa dijabarkan.

Selain catatan itu, ternyata tidak ada jawaban atas hal yang ingin saya ketahui berdasarkan tema debat ketiga.

Pertanyaan dari 11 panelis saya kira baik sekali dengan catatan, jika para kandidat serius untuk menjawabnya.

Namun, menurut pengamatan, capres sering kali tidak memberikan jawaban gamblang. Bahkan ada juga yang berbicara hal di luar konteks yang ditanyakan.

Jika saat sesi pertanyaan dari 11 panelis saja saya tidak puas atas jawaban para kandidat, maka saya tidak menaruh harapan banyak pada sesi bertanya antarkandidat.

Padahal setelah membaca dokumen visi misi ketiga kandidat, banyak pertanyaan muncul di benak saya.

Misalnya, apa tanggapan kandidat perihal strategi pertahanan dan keamanan kita pada era teknologi canggih seperti AI (Artificial Intelligence) sekarang?

Sebenarnya ada kandidat yang menjawab dengan persiapan SDM (soft skill) dan peralatan (hardware). Akan tetapi, saya mengganggap itu cuma retorika, dan seperti jawaban dalam buku teks.

Meskipun ada keterbatasan waktu, saya ingin mendapat jawaban yang sedikit detail dan mudah dipahami. Saya kira waktu dua menit itu cukup, asalkan jawaban lugas dan padat.

Contohnya, masalah alutsista memang penting, namun apakah kita mau mendengar argumen, misalnya, mengenai pesawat bekas (sesuatu yang sudah terjadi) di acara debat calon presiden?

Bukankah waktu jawab dan waktu bertanya semestinya dimanfaatkan untuk hal-hal penting yang belum terjadi dan dirasakan perlu, atau bagaimana cara memperbaiki keadaan?

Masalah pesawat bekas dapat dibicarakan dan dituntaskan di warung kopi. Kalau dipaksakan dibahas di debat capres, maka akan melebar kemana-mana, misalnya, mendefinisi ulang istilah "bekas", yang menurut saya malah menjadi absurd.

Heraclitus mengatakan bahwa segala sesuatu berubah terus menerus (universal flux). Apakah kita siap menyambut perubahan itu?

Saya yakin bapak-bapak capres pernah membaca buku Sun Tzu (Son-shi dalam bahasa Jepang), yaitu buku tentang strategi perang.

Zaman sekarang, buku ini banyak dibaca dan diaplikasikan bukan untuk peperangan, namun dalam bidang bisnis atau manajemen. Misalnya, Bill Gates salah satu pendiri Microsoft dan Larry Ellison pendiri Oracle menyatakan banyak belajar dari buku Sun Tzu.

Tiongkok, tempat lahirnya Sun Tzu tentu sudah menerapkan strategi penting yang ditulis sejak 2500 tahun lalu.

Hal penting atau intisari dari Sun Tzu adalah, melakukan perang, tetapi tanpa peperangan.

Strategi perang tanpa melakukan peperangan, sudah dijalankan sejak lama oleh negara tirai bambu. Contohnya kebijakan OBOR (One Belt One Road), yang merupakan pengejawantahan jalur perdagangan sutra kuno pada masa ini.

Belum lagi dengan strategi nasionalnya "Made in China 2025", yang ingin bertransformasi dari sekadar "pabik dunia" dengan fokus pada tenaga kerja murah untuk produksi peralatan elektronik teknologi rendah, menjadi produsen elektronik teknologi tinggi.

Mungkin Anda masih ingat kehebohan reaksi dunia tahun lalu, saat Huawei meluncurkan produk smartphone terbaru yang dicurigai menggunakan teknologi cip melalui proses 5nm.

Padahal kita tahu, Tiongkok masih terkena sanksi dari Amerika sehingga alat untuk produksi cip canggih tidak bisa masuk.

Menurut hemat saya, suatu saat mereka bisa membuat cip canggih dengan proses 5nm. Antisipasi hal-hal seperti inilah yang perlu disampaikan kepada publik.

Saya yakin bapak-bapak yang terhormat pasti cinta Indonesia, sehingga mampu membuat rakyat tercerahkan dengan masing-masing visi dan misi yang akan dilaksanakan.

Masih tersisa 2 perdebatan lagi sebelum pemilu nanti. Saya tidak tahu, apakah pada sisa perdebatan nanti, capres dan cawapres akan saling bertanya (terutama pada sesi debat antarkandidat) berdasarkan visi dan misi lawannya.

Saya belum menganggap diri dewasa. Karena kedewasaan, tentu harus dilihat dan dinilai oleh orang lain.

Akan tetapi, sedapat mungkin saya akan menyikapi fenomena pilpres secara dewasa, dan menjatuhkan pilihan secara dewasa juga.

Bagaimana caranya? Meminjam komentar yang diberikan oleh Romo Magnis pada 2016, tanggal 14 Februari nanti bukan calon terbaik yang akan saya pilih.

Saya akan menjatuhkan pilihan pada salah satu capres, untuk mencegah agar hal terburuk jangan sampai terjadi.

Indonesia yang kita cintai bersama, tidak boleh jatuh ke tangan yang salah.

https://www.kompas.com/stori/read/2024/01/09/074500879/pilpres-dan-kedewasaan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke