BENAR dugaan saya.
Jauh lebih sedikit, setidaknya, jumlah pembaca yang tahu arti kepanjangan Peparnas ketimbang yang tidak tahu.
Peparnas adalah kepanjangan dari Pekan Paralimpiade Nasional.
Peparnas adalah pesta olahraga multicabang paling akbar tingkat nasional bagi atlet penyandang disabilitas.
Peparnas sejatinya setara dengan Pekan Olahraga Nasional (PON) bagi atlet normal.
Mari kita naik satu level di skala regional ASEAN.
Pada turnamen skala regional ASEAN ada juga turnamen bagi atlet penyandang disabilitas yakni Para SEA Games, di samping SEA Games.
Naik lagi lebih tinggi, level benua, ada Asian Para-Games, selain Asian Games.
Di tingkat paling tinggi, sudah barang tentu, ada Paralimpiade di samping Olimpiade.
Belum lama, Indonesia ikut serta di Paralimpiade Tokyo 2020 pada 24 Agustus 2021 hingga 5 September 2021 dengan hasil terbilang memuaskan.
Indonesia di urutan 43 negara peraih medali dengan capaian 2 emas, 3 perak, dan 4 perunggu.
Capaian terbaik Indonesia sebelumnya adalah pada Paralimpiade Toronto 1976 dan Paralimpiade Arnhem 2020,
Pada masing-masing perhelatan itu, Indonesia meraih enam medali.
Hajatan besar
Kini, usai PON XX Papua 2021 yang berlangsung pada 2-15 Oktober 2021, Indonesia punya hajatan besar Peparnas XVI.
Lokasinya masih sama, di Papua.
Bila pada PON XX Papua 2021, ada empat klaster penyelenggara yakni Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Mimika, dan Kabupaten Merauke, pada Peparnas XVI, hanya klaster Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura yang menjadi lokasi penyelenggaraan.
Pada Peparnas XVI, ada 12 cabang olahraga pertandingan.
Dari jumlah cabang-cabang olahraga itu, ada 602 nomor pertandingan.
Peparnas XVI Papua berlangsung pada 2-15 November 2021.
Pesertanya berjumlah 1.985 atlet paralimpiade dari 34 provinsi.
Sudah barang tentu, cabang-cabang olahraga pertandingan adalah cabang yang sesuai dengan kondisi fisik para atlet penyandang disabilitas.
12 cabang olahraga yang dipertandingkan adalah angkat berat, atletik, boccia, bulu tangkis, catur, judo, menembak, panahan, renang, sepak bola CP, tenis lapangan kursi roda, dan tenis meja.
Sebagai seorang jurnalis, saya terbilang terlambat bersentuhan langsung dengan olahraga bagi atlet penyandang disabilitas.
Seingat saya, kali pertama saya menyaksikan laga paralimpiade adalah pada 2018.
Waktu itu, ada perhelatan Asian Para Games dan Indonesia menjadi tuan rumah.
Laga-laga Asian Para Games 2018 berlangsung sejak 6 Oktober 2018 hingga 13 Oktober 2018.
Saya bertandang ke Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK) untuk menyaksikan laga cabang atletik.
Saya sengaja menempatkan diri sebagai penonton, bukan sebagai jurnalis.
Karena Asian Para Games 2018 hanya berselisih sekitar satu bulan dengan penyelenggaraan Asian Games 2018, saya berharap aroma dan gegap-gempita pesta olahraga itu bakal setara.
Asian Games 2018 berlangsung pada 18 Agustus hingga 2 September.
Namun begitu, harapan saya kandas.
Pertandingan-pertandingan Asian Para Games 2018 terbukti minim penonton.
Suasana pertandingan pun cenderung mendekati hening.
Geloranya tidak terasa.
Saya tercengut.
"Kok ada yang hilang ya?" kata saya dalam hati.
Saya jadi teringat tatkala dalam perjalanan masuk ke GBK persis di Pintu Barat.
Di situ ada beberapa bangunan semipermanen untuk penjualan suvenir.
Tak seperti saat Asian Games 2018, kawasan itu pada Asian Para Games 2018 juga sepi pengunjung.
Kerumunan orang tak ada di tempat itu.
Lengang.
Singkat kata, setahun kemudian, saya bersentuhan kembali dengan dunia paralimpiade.
Kala itu, pada 2019, saya berkesempatan mewawancarai secara keroyokan bersama dengan beberapa rekan media, atlet paralimpiade angkat besi putri, Ni Nengah Widiasih.
Ni Nengah Widiasih menjadi atlet paralimpiade Indonesia yang meraih medali perak pada Paralimpiade Tokyo 2020 yang pergelarannya tertunda satu tahun akibat pandemi Covid-19.
Pada bagian ngobrol-ngobrol (bagian wawancara bukan untuk dipublikasikan) ketahuan bahwa tak ada gegap-gempita bagi seorang atlet sekelas Ni Nengah Widiasih dalam keseharian berlatih, bahkan menjelang laga besar.
"Ya berlatih sendiri," kata perempuan asal Kabupaten Karangasem, Bali ini.
Lagi-lagi saya tercengut.
Kini, di depan mata, ada Peparnas.
Di benak saya keraguan menjadi kian membuncah.
Pasalnya, sebagaimana seorang sahabat penyandang disabilitas pernah bertutur bahwa perhatian bagi kaum seperti dia belumlah begitu besar di negeri ini.
Mungkin ukuran yang bisa dipakai adalah keterlibatan media massa, termasuk media tempat saya berkarya.
Sejujurnya, jumlah publikasi antara laga-laga bagi atlet berfisik normal hari demi hari tetap lebih banyak daripada pemberitaan untuk atlet penyandang disabilitas.
"Jumlah pengeklik berita (laga-laga paralimpiade) memang sedikit," begitu suara yang saya dengar.
Kembali saya tercengut jika mengingat suara tadi.
Hal itu sama artinya dengan sebuah keberulangan bahwa Peparnas akan kembali melakoni perjalanan sepi.
Perjalanan sepi, perjalanan seorang diri, perjalanan tanpa ada yang menemani.
Peparnas, besar kemungkinan, bisa jadi, juga tampil dalam wujud nyanyi sunyi.
Meskipun, selalu ada harapan, kelak, Peparnas bisa lepas dari ironi bagi kaum penyandang disabilitas yang masih jauh dari rasa peduli kami, sesama dengan anugerah kesempurnaan fisik.
https://www.kompas.com/sports/read/2021/11/02/08070088/peparnas-masih-jalan-sepi-dan-nyanyi-sunyi