Bukannya memilih salah satu, Gabby Thomas justru memanfaatkan talenta olahraganya sebagai kendaraan menembus dimensi akademis.
Dalam laman resmi Olympic dijelaskan bahwa Gabby Thomas lebih dulu ingin mendalami bidang neurobiologi di perguruan tinggi sebelum terjun lebih dalam ke dunia atletik.
Melansir NBC Sport, keinginan Gabby Thomas untuk mendalami bidang neurobiologi muncul karena saudara kembarnya menderita attention-deficit hyperactivity disorder (ADHD) atau gangguan jangka panjang yang ditandai dengan perilaku impulsif dan hiperaktif.
Namun, keinginan Gabby Thomas dalam bidang akademis ternyata bisa berjalan beriringan dengan bakat alaminya di trek lari.
Saat hendak mendaftar masuk ke perguruan tinggi, Gabby Thomas diminta oleh orang-orang di sekelilingnya untuk menyertakan bakat lari di lamarannnya.
Tak disangka, bakat itu kemudian menarik minat salah satu perguruan tinggi kenamaan di Amerika Serikat, Universitas Harvard.
Tim atletik Universitas Harvard dilaporkan melayangkan tawaran kepada Gabby Thomas.
Tanpa ragu, Gabby Thomas pun menerima tawaran tersebut meski Universitas Harvard dikenal memiliki tingkat konversi yang rendah dalam menjadikan mahasiswanya sebagai Olympian atau peserta Olimpiade.
Melansir laman resmi Olympic, Alumni Harvard terakhir yang mengikuti Olimpiade muncul pada 1896.
Menuntut ilmu di universitas yang masuk dalam golongan Ivy League (sebutan bagi sejumlah universitas prestisius di Amerika Serikat) tak membuat Gabby Thomas gentar.
Dia bisa membagi waktu dengan porsi yang tepat antara kewajiban akademis dan berlatih di trek lari bersama tim atletik Universitas Harvard.
Belajar, berlari, hingga membuat rekor sudah seperti rutinitas bagi Gabby Thomas.
Di level perguruan tinggi, salah satu pencapaian terbaiknya adalah memenangi gelar di nomor 200 meter pada ajang NCAA (National Collegiate Athletic Association) 2018.
Di samping itu, Gabby Thomas tekun menjalani aktivitas akademis di bidang neurobiologi, seperti yang ia idamkan sejak lama.
Dia kemudian lulus dari Universitas Harvard pada 2019.
Setelah itu, dia pindah dari Massachusetts ke Texas untuk meningkatkan peluang kesuksesan di dunia atletik.
Sesampainya di Texas, Gabby Thomas bergabung dengan Buford-Bailey Track Club yang berbasis di Austin dan didirikan oleh peraih medali perunggu Olimpiade 1996, Tonja Buford-Bailey.
Di laman resmi Olympic tertulis bahwa itu merupakan satu-satunya kelompok pelatihan wanita kulit hitam di AS dan menjadi lingkungan yang tepat bagi para pelari muda untuk berkembang.
Hal tersebut kemudian diakui oleh Gabby Thomas ketika diwawancarai oleh NBC Sport.
"Sebuah kelompok pelatihan yang diisi wanita kulit hitam. Di sana, semuanya sangat inspiratif dan mendorong untuk selalu termotivasi," kata Gabby Thomas.
"Kami semua ernah mengalami pergumulan yang sama. Sungguh menyenangkan memiliki sistem pendukung seperti itu," tutur dia menambahkan.
Pada 2020, Gabby Thomas yang masih memiliki hasrat di bidang akademis mendaftar program pascasarjana di Universitas Texas.
Bermodalkan latar belakang keilmuan selama di Harvard, Gabby Thomas megambil master di bidang epidemiologi dan manajemen perawatan kesehatan.
Dia bermimpi bisa mengelola rumah sakitnya sendiri dan memulai sebuah organisasi non-profit pada suatu hari nanti.
Di tengah perjuangannya mewujudkan mimpi tersebut, Gabby Thomas berkempatan mewakili Amerika Serikat dalam perhelatan multi-ajang empat tahunan, Olimpiade Tokyo 2020.
Gabby Thomas memperoleh status tersebut setelah mengukir catatan waktu 21,61 detik pada ajang yang bernama US Olympic Trials, Juni lalu.
Satu-satunya atlet yang pernah berlari di bawah catatan waktu tersebut ialah Florence Griffith-Joyner.
Sprinter legendaris asal Amerika Serikat itu pernah mencatatkan waktu 21,56 detik di semifinal 200 meter putri pada Olimpiade Seoul 1988.
Florence Griffith-Joyner kemudian mencatatkan waktu lebih cepat, yakni 21,34 detik, di putaran final.
Bermodalkan status wanita tercepat kedua membuat Gabby Thomas diunggulkan dalam perebutan medali emas nomor 200 meter putri Olimpiade Tokyo 2020.
Namun sayang, dia masih kalah cepat dari dua pesaing di putaran final, Elaine Thompson-Herah (Jamaika) dan Christine Mboma (Namibia).
Alhasil, Gabby Thomas harus puas finis di peringkat ketiga dan berhak membawa pulang medali perunggu dengan catatan waktu 21,87 detik, di bawah catatan terbaiknya.
Setelah meraih perunggu, headline di sejumlah media menyanjung nama Gabby Thomas sebagai calon Epidemiolog peraih medali Olimpiade Tokyo.
Hal ini cukup mencerminkan kisah perjuangan Gabby Thomas yang masih bisa berprestasi di tengah perjalanan akademisnya.
https://www.kompas.com/sports/read/2021/08/05/10000028/gabby-thomas-menembus-dimensi-akademis-lewat-prestasi-olahraga