Masmimar Mangiang lahir di Payakumbuh, 10 September 1948. Namanya singkatan dari masa (Mas) mempertahankan (m) Indonesia (i) mardeka (mar).
Nama itu diambil dari suasana beberapa bulan sebelum Konferensi Meja Bundar (KMB).
Adapun Mangiang adalah nama ayahnya. Sosok yang saat ia kecil pergi dan tak pernah kembali. Ayahnya hilang ketika meletus pergolakan daerah PRRI/Permesta.
Di saat itu pula, Bang Mimar dan keluarganya mendadak harus pergi meninggalkan rumah beserta isinya untuk menyelamatkan diri.
Tak banyak yang saya ketahui soal masa remajanya. Ia masuk Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 1968.
Perkenalannya dengan dunia pers terjadi di tahun ketiganya kuliah. Saat itu ia bergabung Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI). Di IPMI, Bang Mimar mengikuti kursus dari para legenda seperti Rosihan Anwar, Mochtar Lubis, dan Jakob Oetama.
Sembari kursus, tulisan-tulisannya dimuat di Harian Kami, surat kabar perjuangan kala itu. Ia menikmati pekerjaan lepas itu karena mendapat honor yang lumayan.
Suatu hari ia dipanggil oleh Pemimpin Redaksi Harian Kami, Nono Makarim. Nono meminta Bang Mimar untuk menentukan masa depannya. Entah sebagai wartawan profesional, aktivis, politikus, atau ilmuwan.
Bang Mimar tak meneruskan kuliahnya dan memilih menjadi wartawan. Tak lama ia menerima tawaran sekolah International Institute for Journalism di Berlin.
Sepulang dari Berlin, karirnya moncer. Ia pindah ke Pedoman, kemudian ke majalah berita mingguan Fokus. Ia juga pernah bekerja di Tempo, Prisma, Neraca, hingga Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).
Sebagian dari media itu dibredel di era Orde Baru. Ada juga yang ia tinggalkan karena alasan idealisme.