Parapuan.co – Kawan Puan, apakah kamu familier dengan istilah quiet quitting di dunia profesional?
Seperti diketahui, saat ini istilah quiet quitting ramai dibahas di media sosial karena banyak ditemukan di kalangan pekerja muda.
Quiet quitting sendiri biasanya ditandai dengan melakukan pekerjaan seperlunya sesuai dengan jobdesk dan permintaan atasan.
Para pekerja yang mengidentifikasi dirinya sebagai quiet quitter tersebut pada umumnya menolak pemikiran bahwa bekerja harus menjadi fokus utama hidupnya.
Mereka menolak ekspektasi untuk bekerja secara maksimal atau mengorbankan lebih banyak waktunya untuk bekerja.
Selain itu, para quiet quitter ini juga tak segan mengatakan “tidak” untuk permintaan terkait pekerjaan yang melampaui deskripsi pekerjaannya.
Penyebab Quiet Quitting
Berdasarkan data dari Harvard Business Review (HBR) dikutip dari PARAPUAN, fenomena quiet quitting ternyata tidak semata-mata mengenai ketidakinginan karyawan untuk bekerja lebih keras.
Quiet quitting justru utamanya disebabkan oleh pengaruh kepemimpinan atasan yang tidak bisa membangun hubungan baik dengan para karyawannya.
Baca Juga: Ingin Jadi Karyawan Loyal pada Perusahaan? Ini Kelebihan dan Kekurangannya
Riset HBR menunjukkan data yang telah dikumpulkan sejak tahun 2020 dan melibatkan 2.801 manajer yang dinilai oleh 13.048 karyawan langsung.
Terdapat dua poin utama yang dibandingkan dalam riset ini, yakni penilaian karyawan atas kemampuan manajer mereka dalam menyeimbangkan hasil akhir dengan kebutuhan karyawan.
Kemudian poin kedua adalah peringkat karyawan terkait sejauh mana lingkungan kerja memengaruhi mereka untuk bekerja lebih keras.
Lebih lanjut riset tersebut menunjukkan, kepemimpinan yang tidak efektif terbukti memiliki tiga sampai empat kali lebih banyak karyawan yang masuk ke dalam kategori quiet quitter.
Manajer dengan kepemimpinan yang tidak efektif memiliki 14 persen bawahan yang melakukan quiet qutting dan hanya 20 persen yang bersedia memberikan usaha ekstra.
Di sisi lain, karyawan dengan pemimpin atau atasan yang bisa menyeimbangkan hasil serta hubungan baik dengan bawahannya mengaku bersedia untuk memberikan usaha lebih saat bekerja.
Yakni sebanyak 62 persen bawahan mereka bersedia memberikan upaya ekstra, sedangkan hanya 3 persen yang merupakan quiet quitter.
Kebanyakan orang dalam perjalanan kariernya pasti pernah bekerja di bawah manajer yang membawa mereka ke quiet quitting, umumnya karena mereka merasa kurang dihargai.
Hasil riset di atas juga menandakan bahwa kurangnya motivasi di kalangan karyawan justru merupakan respons dari tindakan yang dilakukan oleh atasan atau manajer.
Baca Juga: 3 Strategi Pemimpin Perempuan Menghadapi Stres Kerja Karyawan Pasca Pandemi
Namun, tak sedikit pula karyawan yang pernah bekerja untuk seorang pemimpin yang memiliki keinginan kuat untuk mencapai tujuan bersama.
Meskipun harus bekerja lembur atau lebih keras dari biasanya, tipe pemimpin seperti itu ternyata dapat menginspirasi karyawan.
Lantas, apa yang Harus Dilakukan Pemimpin?
Apabila Kawan Puan merupakan seorang pemimpin di tempat kerja, perlu diketahui bahwa kepercayaan merupakan faktor paling penting untuk menciptakan kepemimpinan yang efektif.
Untuk mencapai kepemimpinan yang demikian, kamu harus bisa memahami kebutuhan dan kekhawatiran karyawan yang memengaruhi kesejahteraannya.
Kepercayaan tersebut juga bisa dicapai dengan cara membangun hubungan baik dengan semua karyawan, konsisten dengan apa yang dibicarakan, dan memanfaatkan keahliannya untuk membantu karyawannya.
Dengan membangun kepercayaan ini, fenomena quiet quitting di lingkungan kerja bisa diminimalisir.
Jadi, sebagai pemimpin Kawan Puan pun bisa menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman, inklusif, dan juga positif untuk setiap individu.
Baca Juga: Ini Alasan Mengapa Pengusaha Perlu Meningkatkan Kesejahteraan Karyawan
(*)