Parapuan.co - Belakangan, netizen Indonesia makin aktif bersuara tentang isu dan kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak.
Hal ini tentu menjadi hal yang positif mengingat isu tersebut sangatlah penting.
Akhirnya banyak diskusi publik terbuka di media sosial membahas kasus kekerasan seksual yang sedang terjadi.
Namun, sayangnya hal itu tidak diimbangi dengan diskusi yang lebih berarti.
Banyak kasus kekerasan seksual yang malah menjadi bahan gosip, bahkan ajang siapa yang paling tahu soal kasus yang sedang terjadi.
Hal yang awalnya bertujuan untuk simpati kepada penyintas malah memantik trauma penyintas.
Mengenai masalah tersebut, aktris dan aktivis perempuan Hannah Al Rashid berbagi pandangannya di Twitter.
Dalam bahasa Inggris, cuitan akun @HannahAlrashid menyoroti fenomena dan kebiasaan netizen di media sosial.
More likely than not, responses have been (whether online in public discussion or as questions to me personally) “Who? how? Spill the tea...” as opposed to “are you ok? How are you feeling? What can we do to help?” This says a lot about people who claim to care...(6)
— Hannah Al Rashid (@HannahAlrashid) January 11, 2022
Baca Juga: Susi Pudjiastuti Desak RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual Segera Disahkan
"Satu hal yang sangat jelas bagi saya hari ini, dan sejujurnya sejak saya mulai berbicara tentang masalah ini di industri ini adalah di mana prinsip-prinsip orang terletak pada masalah ini," tulis Hannah.
"Dan seberapa besar mereka bersedia untuk benar-benar berkontribusi secara positif untuk mengubah banyak hal," sambungnya.
Hannah mengungkapkan respons soal kekerasan seksual yang sering ia temukan di media sosial.
Respons tersebut kebanyakan merujuk pada rasa ingin tahu seseorang terhadap pelakunya atau bagaimana kasus kekerasan seksual tersebut terjadi.
Menurut Hannah, rasa ingin tahu soal hal itu ternyata merupakan lawan dari sikap simpati kita terhadap penyintas.
Menanyakan kondisi penyintas dan apa yang bisa kita lakukan untuk membantunya adalah hal yang lebih penting dan krusial.
"Kemungkinan besar, tanggapannya adalah (baik online dalam diskusi publik atau sebagai pertanyaan kepada saya secara pribadi) 'Siapa? bagaimana? Spill the tea...'" kata Hannah.
"Itu adalah lawan dari 'Apakah kamu baik-baik saja? Bagaimana perasaanmu? Apa yang bisa kami lakukan untuk membantumu?'" lanjutnya.
Hal yang juga mengganggu bagi Hannah adalah banyak orang yang menjadikan masalah kekerasan seksual ini sebagai gosip, bukan isu penting.
Baca Juga: Sepanjang 2021, Ini 5 Kasus Kekerasan Seksual Paling Disorot Publik
Sebagai penyintas, pemeran film Aruna dan Lidahnya ini merasa terganggu dengan respons yang mengarah ke gosip.
"Lalu ada 'Tidakkah kamu sudah mendengar? Aku udah pernah dengar dll' tanggapan yang sebagai penyintas membuat saya merasa lebih buruk," tulis Hannah.
Hannah melihat banyak orang yang bertindak seperti sudah mengetahui soal masalah ini terlebih dulu.
Hal itu juga menjadi kompetisi siapa yang paling mengetahui soal kasus kekerasan seksual yang sedang ramai diperbincangkan.
Namun, dengan menyimpan informasi soal kasus kekerasan seksual sebagai bahan gosip, orang-orang tersebut justru ikut melindungi pelaku.
"Karena jika kamu memilih untuk menyimpan info semacam ini sebagai mata uang untuk gosip daripada menangani masalah, saya minta maaf tetapi kamu juga seorang enabler," tutup Hannah.
Hannah Al Rashid hanya ingin netizen benar-benar memihak pada penyintas dalam diskusi-diskusi umum di ruang publik maupun media sosial.
Kawan Puan, penting bagi kita untuk memperhatikan kembali cara kita berdiskusi soal kekerasan seksual di media sosial agar tidak menyinggung penyintas.
Baca Juga: Film Georgia: Sulitnya Keluarga Korban Pemerkosaan Mencari Keadilan
(*)