Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) pun tidak berbuat banyak menghapus praktik perjokian. Kadang-kadang mereka beroperasi. Jika para joki itu tertangkap, mereka dibawa ke Panti Sosial Kedoya, Jakarta Barat, dan bekerja selama tiga minggu atau lebih.
Namun, ada juga perlakuan tidak menyenangkan dialami oleh joki yang sempat tertangkap. Gayat (38), yang menjadi joki sejak 2006, mengaku pernah tertangkap dan mengalami pelecehan seksual oleh petugas Satpol PP. ”Kalau situasi seperti itu, saya langsung turun,” ujar Gayat yang menggendong anak perempuannya, Kiki (3).
Namun, kata Gayat, pekerjaan joki ini kadang mendatangkan rezeki yang lumayan. Apabila sedang hari baik, seperti menjelang hari raya, dia bisa mendapat upah Rp 100.000 dari seorang pelanggan.
Joki bukan pekerjaan satu-satunya bagi mereka. Para joki ini umumnya punya pekerjaan sampingan. Reza (17) misalnya. Lelaki yang masih tinggal bersama orangtuanya di Tangerang, Banten, ini sudah menjadi joki sejak empat tahun lalu. Setiap pagi dia menunggu di Jalan Asia Afrika, Senayan. ”Pagi saya joki, sore sekolah SMA. Kalau lagi enggak
Ana juga mengaku, pagi dan sore jadi joki. Pada waktu siang, Ana menjadi pencuci pakaian di salah satu perusahaan di Pejompongan. Upahnya Rp 300.000 per bulan. Upah itu cukup untuk membayar sewa rumahnya.
Menurut pakar lalu lintas dari Universitas Gadjah Mada, Heru Sutomo, mengatakan, pemerintah sesungguhnya tahu sistem
Data terakhir, 900 sepeda motor baru dan 250 mobil baru per hari masuk ke jalan. Jelas, kendaraan itu ikut memadati jalan yang relatif sama dengan kondisi 10 tahun lalu. ”Pemerintah harus berbuat sesuatu secepat mungkin untuk mengatasi kemacetan,” ujar Heru.
Oleh sebab itu, menurut informasi yang diperoleh dari Bidang Angkutan Darat Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta, rencananya untuk menekan kepadatan kendaraan di jalan protokol akan diterapkan sistem retribusi kemacetan (
Sistem itu diharapkan menjadi langkah efektif untuk mengurangi pemilik mobil pribadi memadati jalan utama di Jakarta. Di sisi lain, pemerintah juga segera membenahi jaringan transportasi massal.
Fenomena menjadi joki juga banyak ditemui di sejumlah negara. Di kota-kota besar dunia lain pun ada profesi serupa. Misalnya, di Berlin, Jerman, ketika Museum of Modern Art (MoMA) memindahkan pameran lukisan-lukisan dari New York ke Berlin tahun 2004.
Ketika itu banyak warga Jerman mengantre untuk masuk ke museum. Alhasil, banyak orang yang ikut mengantre dan menawarkan posisinya kepada pengunjung yang enggan mengantre dengan upah, 10 euro per jam per orang.
Apa pun peraturan yang baru, para joki berharap dapat terus mencari nafkah di jalan. Mereka tahu, pekerjaan itu bukan profesi langgeng yang menawarkan penghasilan besar. Mereka hanya ingin mengais sedikit rezeki dan berharap setiap hari ada yang menyewa jasa mereka. Mengantongi sedikit uang agar perut terisi untuk menapaki keganasan Ibu Kota. (SOREN KITTEL Wartawan Die Welt Peserta Program Goethe Institut Magang di Kompas)