Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Nada Sumbang Musisi di Tengah Harmoni Generatif AI

Dari penciptaan lirik hingga pengkomposisian melodi kompleks, AI tidak hanya berhasil meniru gaya musisi kenamaan, tetapi juga menciptakan suara baru yang unik.

Adobe dan Stability AI merupakan contoh perusahaan yang sedang mengembangkan generator musik AI yang memanfaatkan musik berlisensi atau bebas royalti.

Video viral yang menampilkan suara Eminem—dihasilkan oleh AI—yang diputar dalam acara HBO’s Last Week Tonight, menunjukkan potensi AI untuk menciptakan karya menawan dan sulit dibedakan dari karya asli manusia.

Namun, tidak semua pihak menyambut hangat kemajuan ini. Universal Music Group telah mengajukan notifikasi DMCA terhadap pembuat video rap AI Eminem yang menjadi viral tersebut.

Baru-baru ini, lebih dari 200 musisi terkemuka, termasuk Billie Eilish, Jon Bon Jovi, the Jonas Brothers, Katy Perry, hingga Zayn Malik, telah mengajukan petisi kepada perusahaan teknologi untuk tidak merusak kreativitas manusia dengan alat musik berbasis AI.

Mereka menekankan, tanpa pengawasan yang tepat, AI berpotensi mengancam privasi, identitas, musik, dan bahkan mata pencaharian musisi.

Sejarah telah menunjukkan bahwa musisi sering kali mendapat bagian yang kurang menguntungkan seiring bertambahnya kompleksitas teknologi. Dari era file-sharing hingga munculnya streaming, tantangan demi tantangan dihadapi.

The Union of Musicians and Allied Workers (UMAW) telah bertahun-tahun berusaha mendapatkan pembayaran royalti streaming yang lebih baik dari Spotify, yang rata-rata hanya memberikan sekitar 0.0038 dollar AS per streaming.

Dengan kemunculan teknologi AI, keraguan dan skeptisisme dari para musisi semakin meningkat.

Langkah yang diambil oleh para musisi mirip dengan aksi yang dilakukan oleh lebih dari 15.000 penulis pada Juli tahun lalu, yang juga menandatangani surat terbuka kepada CEO dari perusahaan-perusahaan teknologi besar, mengekspresikan kekhawatiran yang sama terhadap AI.

Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. AI, melalui penggunaan generatif AI, telah mampu menciptakan karya seni yang menantang konsep kreativitas konvensional.

Salah satu contoh paling mencolok adalah penjualan potret "Edmond de Belamy," yang dihasilkan oleh AI, seharga 432.500 dollar AS di lelang, menandakan era baru dalam penerimaan dan komersialisasi seni generatif AI.

Namun, dalam ranah musik, kemampuan AI untuk menghasilkan komposisi yang meniru gaya musisi tertentu telah menimbulkan pertanyaan serius tentang hak cipta, keaslian, dan bahkan definisi karya orisinal.

Ancaman terhadap industri musik tidak hanya terbatas pada isu hak cipta dan originalitas. Integrasi AI dalam seni dan musik juga menimbulkan pertanyaan tentang masa depan pekerjaan kreatif dan kemungkinan penggantian peran manusia dalam proses kreatif.

Di sisi lain, sejumlah pihak melihat AI sebagai alat yang dapat meningkatkan, bukan menggantikan kreativitas manusia.

Dalam proses brainstorming, misalnya, AI dapat memberikan ide-ide baru yang kemudian dapat dikembangkan oleh seniman dengan sentuhan unik mereka sendiri.

Ini menawarkan peluang untuk mengatasi writer's block, menciptakan nada dan gaya yang unik, bahkan mengisi kesenjangan keahlian seperti dalam pembuatan album art atau generasi vokal.

Namun, memelihara keseimbangan antara inovasi dan integritas artistik menjadi tantangan. Keterlibatan AI dalam penciptaan musik menimbulkan dilema tentang pengaruhnya terhadap keaslian dan kedalaman emosional musik yang dihasilkan.

Ini menuntut perenungan mendalam tentang esensi kreativitas dan resonansi emosional yang inheren dalam ekspresi manusia.

Dalam dunia di mana mesin mampu menciptakan karya yang dapat bersaing dengan hasil karya manusia, pencipta kini berhadapan dengan dilema seputar hak atas karya yang dihasilkan oleh AI.

Isu penggunaan yang adil menjadi semakin rumit, memicu debat panas mengenai batasan antara inovasi teknologi dan penghormatan terhadap tradisi kreatif manusia.

Pertanyaan tentang siapa yang memegang hak cipta—apakah pencipta AI atau pengembang teknologi—menjadi semakin penting dan mendesak.

Dari sisi etika dan hukum, terdapat dua masalah utama: masalah input dan hak cipta serta masalah output dan hak cipta.

Pertama, penggunaan data kreatif untuk melatih model AI menimbulkan keraguan tentang siapa yang sebenarnya memiliki hak cipta atas data tersebut.

Apakah pengembang AI berhak menggunakan karya seni, musik, atau teks tanpa persetujuan eksplisit dari pencipta aslinya?

Kedua, ketika AI menghasilkan karya yang mirip dengan karya manusia, muncul pertanyaan tentang pelanggaran hak cipta dan siapa yang memiliki hak atas output tersebut.

Menghadapi era baru ini, penting bagi komunitas kreatif, pembuat kebijakan, dan pengembang teknologi untuk berkolaborasi dalam menciptakan kerangka kerja hukum dan etis yang mendukung penggunaan AI bertanggung jawab.

Hal ini penting untuk memastikan bahwa hak cipta dan kepentingan musisi dilindungi, sambil memelihara ruang untuk inovasi dan eksplorasi artistik yang AI bawa.

Pada akhirnya, AI generatif menawarkan potensi yang belum tergali untuk memperkaya landskap musik dan seni.

Dengan pendekatan tepat, bisa jadi bukan tentang memilih antara kreativitas manusia dan inovasi teknologi, melainkan tentang bagaimana keduanya dapat berkolaborasi untuk menciptakan harmoni baru yang menghormati dan memperluas batas-batas ekspresi kreatif.

Kesuksesan dalam mengatasi tantangan ini akan menandai dimulainya era di mana musisi dan AI dapat bersama-sama menyusun simfoni masa depan yang melodi dan harmoninya memperkaya dunia seni dan musik.

https://www.kompas.com/hype/read/2024/04/04/124858466/nada-sumbang-musisi-di-tengah-harmoni-generatif-ai

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke