Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Akibat Orangtua Berlidah Kejam

Kompas.com - 23/01/2008, 21:43 WIB

Contohnya, “Lihat tuh kelakuan Si Jelek. Dia ‘kan dipungut dari rumah sakit. Kalau anak Mama Papa nggak kayak gitu deh....” Dan jika si anak atau anggota keluarga lain memprotesnya, orangtua akan membela diri dengan berkata, “Ah, ’kan cuma bercanda.”
Orangtua semacam ini lupa bahwa anak-anak sangat mempercayai apa yang diucapkan oleh orangtuanya. Jika orangtua bilang si anak jelek dan bodoh, ia percaya dirinya betul-betul jelek dan bodoh. Karena itu, tidak mudah bagi mereka jika diharapkan mampu membedakan apakah ucapan ayah/ibunya itu serius atau hanya bercanda.

Maksudnya Baik?
Semua orang maklum bahwa kadang-kadang kita sebagai orangtua merasakan jengkel, kecewa, bahkan marah terhadap anak. Kalau mengikuti lirik lagu grup band Serieus: orangtua juga manusia, ayah juga manusia, ibu juga manusia.

Kadang-kadang anak-anak memang sulit diatur, suka berbuat sesuka hati, mengotori rumah tanpa henti, prestasi di sekolah kurang bagus, maunya bermain melulu, kadang berantem, ada yang mulai belajar bohong, kamar tidurnya berantakan, dan sebagainya. Ditambah dengan beban pekerjaan dan urusan-urusan lain yang berat, semua perilaku anak itu kadang membuat orangtua tidak tahan.

Ada saja orangtua yang memilih kekerasan verbal terhadap anak-anak dengan tujuan mendidik, dilandasi oleh maksud yang baik. Mungkin mereka tidak tahu bahwa tak akan pernah ada hasil yang baik jika proses untuk mencapai tujuan itu tidak baik. Maksud dan tujuan baik hanya akan terwujud baik jika dilakukan dengan cara-cara yang baik pula.

Kekerasan fisik maupun verbal, bukanlah cara yang tepat dalam mendidik anak, kata DR. Forward. Ia bahkan menyebut “kejam”, jika ada orangtua yang tahu bahwa anak-anak sangat percaya pada ucapannya, tetapi tetap mengucapkan hal-hal yang dapat melukai perasaan anak.

Bagaimanapun, anak juga manusia, punya rasa punya hati. Ucapan-ucapan bernada menghina dan merendahkan itu akan direkam dalam pita memori anak, makin lama makin bertambah dan dirasa berat, sehingga akhirnya anak memiliki citra diri negatif. 
  
Mengganggu Perkembangan
Citra diri yang negatif itu di kemudian hari menyebabkan anak tidak mampu tumbuh sebagai pribadi yang percaya diri. Anak akan memiliki rasa malu yang kuat, bersikap ragu-ragu, dan lebih suka menarik diri dari pergaulan.

Seperti yang terjadi pada Rudy di atas. Meskipun sudah bisa membuktikan dirinya sebagai dokter dan dapat menghidupi keluarganya secara baik, ia tetap tidak percaya diri dan menyimpan perasaan malu luar biasa.

Pada anak yang lain, citra diri negatif tersebut bahkan dapat membentuknya tumbuh sebagai pribadi pemberontak, kasar, bodoh, jorok, lamban, pengacau, dan sebagainya.
Pendek kata, anak akan menampilkan diri sesuai dengan julukan yang diberikan kepadanya oleh orangtua. Anak-anak itu sangat percaya pada ucapan yang berkali-kali keluar dari mulut ayah ibu mereka.

Dengan kata lain, jika kita sebagai orangtua mengharapkan anak-anak tumbuh sebagai pribadi yang baik, sehat, cerdas, berbudi luhur, tentu kata-kata, sikap, dan perilaku kita pun harus sesuai dengan harapan tersebut.

Jika orangtua menampilkan diri sebaliknya, perkembangan anak-anak pun akan terganggu, tidak sesuai dengan harapan. Tidak mungkin kambing beranak kuda, bukan?
Mari kita jaga lidah kita.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com