KABUL, KOMPAS.com - Jaringan televisi swasta paling populer di Afghanistan membuat keputusan untuk menghapus sinetron Turki yang dinilai vulgar dari jadwal siarannya, dan menggantinya dengan program-program yang kemungkinan tidak akan mengecewakan Taliban.
Tolo News secara sukarela menghapus acara musik dan sinetron setelah Taliban mengeluarkan arahan bahwa media Afghanistan tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam atau merugikan kepentingan nasional.
Baca juga: Biden Ingin AS Berhenti Jadi Polisi Dunia setelah Keluar dari Afghanistan
Sebagai gantinya, drama tersebut digantikan dengan serial TV Turki di era Ottoman yang menampilkan aktris berpakaian lebih sederhana.
Saad Mohseni, CEO dan ketua Moby Group, yang memiliki Tolo, mengatakan jaringan tersebut membuat keputusan sendiri untuk mengganti acara itu karena "kami tidak berpikir mereka (sinetron turki) akan dapat diterima oleh rezim baru."
Taliban mengizinkan jurnalis masuk ke Afghanistan dari Pakistan, dan mereka mengizinkan media Afghanistan untuk terus beroperasi.
Tetapi media juga berada di bawah pedoman samar yang sama. Media lokal dapat membuat keputusan sensor diri yang serupa dengan Tolo untuk menghindari dampak.
Saat dunia mengamati dengan saksama bagaimana Taliban akan memerintah, perlakuan mereka terhadap media Afghanistan akan menjadi indikator kunci, bersama dengan kebijakan mereka terhadap perempuan.
Ketika mereka memerintah Afghanistan antara 1996-2001, Taliban memaksakan interpretasinya atas hukum Islam yang keras, melarang anak perempuan dan perempuan dari sekolah dan kehidupan publik, dan secara brutal menekan perbedaan pendapat.
Baca juga: Taliban Segera Umumkan Pemerintahan Baru Afghanistan, Tanpa Perempuan
Setelah kejatuhan Taliban, Afghanistan menyaksikan perkembangan pesat outlet media, dan wanita membuat beberapa kemajuan dalam pembatasan masyarakat yang sangat konservatif.
Sebagai tanda pertama bahwa Taliban sedang mencoba melunakkan reputasi ekstremis mereka, salah satu pejabatnya tiba-tiba masuk ke studio Tolo News hanya dua hari setelah menguasai Kabul pada pertengahan Agustus.
Dia duduk untuk wawancara dengan pembawa acara wanita, Behishta Arghand.
Pembawa acara berusia 22 tahun itu mengatakan kepada AP bahwa dia gugup ketika dia melihat anggota Taliban itu memasuki studio. Tetapi perilakunya dan bagaimana dia menjawab pertanyaan membantu membuatnya sedikit tenang.
"Saya hanya berkata pada diri sendiri ‘ini adalah saat yang tepat untuk menunjukkan kepada seluruh dunia, perempuan Afghanistan tidak ingin mundur. Mereka ingin...maju’," katanya melansir Newsweek pada Jumat (3/9/2021).
Arghand melarikan diri dari negara itu setelah wawancara tersebut, karena tidak mau mengambil risiko atas janji-janji keterbukaan yang lebih besar dari Taliban. Dia sementara mengungsi di sebuah kompleks di Qatar.
Baca juga: Penyiar TV Pertama yang Mewawancarai Taliban Akhirnya Kabur
Dia termasuk di antara ratusan jurnalis, banyak yang dipandang sebagai yang terbaik di bidangnya, yang meninggalkan negara itu setelah pengambilalihan Taliban. Mereka menjadi bagian dari eksodus lebih dari 100.000 pengungsi Afghanistan.