MOULAY BRAHIM, KOMPAS.com - Lahcen duduk di sudut apotek desa di Kota Moulay Brahim di pegunungan Atlas Tinggi Maroko, Sabtu (9/9/2023) sore waktu setempat.
Dia tidak bisa dihibur setelah kehilangan istri dan empat anaknya dalam gempa bumi Maroko pada Jumat (8/9/2023) malam waktu setempat.
Tragedi yang menimpa keluarga Lahcen telah menjadi perbincangan semua orang di desa pegunungan yang berjarak sekitar satu jam perjalanan dari pusat kota wisata Marrakesh tersebut.
Kepala pria berusia 40 tahun itu tertunduk, tubuhnya meringkuk kesakitan.
"Saya telah kehilangan segalanya," katanya dengan suara yang nyaris tak terdengar kepada AFP.
Sore itu petugas penyelamat belum berhasil menemukan jasad istri dan putranya dari puing-puing bangunan yang dulunya adalah rumah mereka.
Jasad ketiga putri Lahcen yang sudah tak bernyawa sudah diangkut dari reruntuhan.
"Saya tidak bisa melakukan apa-apa saat ini, saya hanya ingin menjauh dari dunia dan berduka," katanya.
Ia sedang berada di luar rumah ketika gempa berkekuatan magnitudo 6,8 mengguncang pada pukul 23.11 waktu setempat.
Gempa terkuat yang pernah melanda negara Afrika Utara ini terakhir dilaporkan telah menewaskan lebih dari 2.000 orang dan melukai lebih dari 2.000 orang, banyak di antaranya dalam kondisi kritis.
Lebih dari separuh korban tewas, 1.293 orang, meninggal di provinsi Al-Haouz di mana pusat gempa tercatat.
Kota Moulay Brahim yang berada di provinsi tersebut juga mendapati lebih dari selusin korban jiwa, dan bahkan dikhawatirkan akan bertambah.
Para petugas penyelamat dengan menggunakan alat berat telah mulai mencari korban yang selamat dan korban jiwa di reruntuhan rumah-rumah yang runtuh pada Sabtu.
Sementara, kuburan digali di sebuah bukit di desa tersebut untuk menguburkan para korban tewas.
"Semua orang kehilangan keluarga"
Hasna, seorang perempuan berusia 40-an, duduk di depan pintu rumahnya yang sederhana di desa itu. Dia masih syok.
"Ini adalah tragedi yang mengerikan. Kami benar-benar terhuyung-huyung dengan apa yang telah terjadi. Keluarga saya selamat, tetapi seluruh desa berduka karena kehilangan anak-anaknya. Banyak tetangga saya kehilangan orang yang mereka cintai. Rasa sakitnya tak terlukiskan," kata Hasna.
Sebelum bencana, Moulay Brahim adalah rumah bagi sekitar 3.000 orang. Di dataran tinggi desa, Bouchra menyeka air mata dengan syalnya sambil melihat para pria menggali kuburan.
"Cucu-cucu sepupu saya meninggal. Saya menyaksikan kehancuran yang terjadi. Saya masih gemetar. Rasanya seperti bola api yang menghanguskan segalanya. Semua orang di sini kehilangan keluarga, di desa ini dan di desa lain," ucapnya.
Penduduk desa lainnya, Lahcen Ait Tagaddirt, kehilangan dua orang kerabatnya yang masih kecil yang tinggal di desa terdekat. Keponakannya berusia enam dan tiga tahun ketika mereka meninggal.
"Ini adalah kehendak Tuhan. Di sini kami tidak punya apa-apa. Daerah pegunungan sangat sulit," ungkapnya.
Seorang tetangga muda yang tidak ingin disebutkan namanya menceritakan bagaimana pamannya berhasil lolos dari maut.
"Dia sedang berdoa ketika atap rumahnya runtuh, tetapi dengan suatu keajaiban mereka berhasil mengeluarkannya dari reruntuhan rumahnya," katanya.
"Sungguh luar biasa memikirkan bahwa beberapa saat guncangan dapat menyebabkan begitu banyak kemalangan," tambah warga Maroko itu.
https://www.kompas.com/global/read/2023/09/10/075121970/lahcen-tertunduk-di-sudut-apotek-istri-dan-4-anaknya-tertimbun-puing