Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pita Limjaroenrat Menang Pemilu Thailand, Bisakah Jadi Perdana Menteri?

Partai yang identik dengan warna oranye itu berhasil meraih kursi terbanyak yaitu 152, melesat lebih dari dua kali lipat dibandingkan pemilu 2019 dengan 71 kursi.

Pita Limjaroenrat yang memimpin MFP langsung mengumumkan pembentukan koalisi 10 partai dengan dia sebagai calon perdana menteri baru.

Koalisi ini telah mengamankan mayoritas di House of Representatives, majelis rendah Thailand, dengan memegang 316 dari 500 kursi.

Namun, sistem parlementer Thailand yang berbeda dengan demokrasi parlementer lain membuat Pita tidak serta merta dapat langsung menjadi PM baru Thailand.

Kingmaker: Senat Thailand

Untuk menjadi PM "Negeri Gajah Putih”, calon PM tidak hanya harus mengamankan mayoritas majelis rendah, melainkan juga mayoritas majelis tinggi atau Senat.

Artinya, Pita harus mendapatkan 376 gabungan dukungan dari dua kamar parlemen Thailand yang terdiri dari 500 anggota House dan 250 senator.

Di sinilah Pita masih tersendat. Politisi muda berusia 42 tahun itu diberitakan mengalami kesulitan mendapatkan dukungan dari para senator.

Batu sandungan utama adalah salah satu janji kampanye MFP untuk mengamandemen undang-undang lese majeste--juga dikenal dengan ”Pasal 112” hukum pidana--yang menjerat setiap penghina monarki di Thailand dengan hukuman penjara minimal 15 tahun.

Di Thailand, militer memiliki rekam jejak panjang menggulingkan pemerintahan hasil pemilu. Terakhir, kudeta militer dilancarkan pada 2014 menjatuhkan Yingluck Shinawatra, adik perempuan mantan PM Thaksin Shinawatra.

Setelah kudeta, militer menyusun konstitusi baru yang salah satu pasalnya berisi pembentukan Senat yang akan menjadi benteng veto terakhir kaum royalis pendukung kerajaaan dan militer jika partai reformis seperti MFP menang pemilu.

Para senator ini tidak dipilih langsung oleh rakyat melainkan ditunjuk oleh junta militer pimpinan perdana menteri petahana Prayut Chan-o-cha.

Tidaklah mengagetkan jika mayoritas besar senator merupakan sekutu dekat kubu pro kerajaan dan militer yang menginginkan status quo tidak berubah.

Di Thailand, isu monarki dan kehormatan Raja Thailand adalah masalah yang tabu dan sangat sensitif.

Bagi senator, mengamandemen lese majeste sama saja mendeklarasikan perang dan bentuk jelas ketidakloyalan terhadap KerajaanThailand. Dalam konteks politik Thailand, agenda politik MFP dianggap terlalu radikal.

Sejumlah senator telah menyatakan terang-terangan mereka tidak dapat mendukung Pita sebagai PM.

Sejauh ini baru 15 senator yang menyampaikan dukungannya kepada koalisi Pita yang berarti dia masih perlu 45 senator lagi untuk mencapai mayoritas.

Salah satu opsi lain yang dapat ditempuh lulusan Harvard University ini adalah memperkuat koalisi di majelis rendah. Partai pro-ganja Bhumjaithai dengan 70 kursi dapat memberikan mayoritas kepada Pita tanpa memerlukan dukungan Senat.

Namun, Pita dengan tegas menyatakan, tidak akan bekerja sama dengan partai mana pun termasuk Bhumjaithai yang mendukung koalisi Prayuth selama dia berkuasa sembilan tahun terakhir.

Ketua Bhumjaithai, Anutin Charnvirakul, juga telah menegaskan menolak agenda MFP dan Pita untuk mengamendemen undang-undang monarki.

Penghalang lain yang bisa mengganjal agenda reformasi Pita adalah ancaman diskualifikasi oleh Mahkamah Konstitusi Thailand jika mengabulkan aduan mengenai dia memegang saham sebuah perusahaan media sebelum kampanye pemilu.

Hal tersebut dilarang jika mencalonkan diri sebagai anggota parlemen Thailand.

Diskualifikasi pernah dialami partai pendahulu MFP yaitu Partai Maju Masa Depan (Future Forward Party/FFP), dan ketuanya miliarder Thanathorn Juangroongruangkit pada 2020.

https://www.kompas.com/global/read/2023/05/21/121600070/pita-limjaroenrat-menang-pemilu-thailand-bisakah-jadi-perdana-menteri-

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke