KOLOMBO, KOMPAS.com - Pasukan bersenjata di Sri Lanka menghadapi kerumunan yang memprotes krisis ekonomi yang memburuk, setelah pemblokiran media sosial gagal menghentikan demonstrasi anti-pemerintah pada Minggu 3/4/2022.
Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa memberlakukan keadaan darurat nasional pada Jumat (1/4/2022), sehari setelah massa berusaha menyerbu rumahnya di ibu kota, Kolombo, dan pembatasan pergerakan warga berlaku secara nasional hingga Senin (4/4/2022) pagi.
Al Jazeera melaporkan tetapi hanya dalam 12 jam pertama aturan ditetapkan, sekitar 664 orang telah ditahan karena melanggar aturan tersebut.
Sementara tindakan keras aparat terjadi di Peradeniya, dengan protes tersebar di seluruh negeri sepanjang hari, termasuk di ibu kota, Kolombo.
Samagi Jana Balawegaya (SJB), aliansi oposisi utama Sri Lanka, mengecam pemblokiran media sosial yang bertujuan untuk memadamkan demonstrasi publik yang semakin intensif. Dia pun mengatakan sudah waktunya bagi pemerintah untuk mengundurkan diri.
“Presiden Rajapaksa lebih baik menyadari bahwa gelombang (protes) telah mengubah pemerintahan otokratisnya,” kata anggota parlemen SJB Harsha de Silva kepada AFP.
Jalan itu dibarikade beberapa ratus meter dari rumah pemimpin oposisi utama, Sajith Premadasa. Massa terlibat dalam ketegangan dengan pasukan keamanan selama hampir dua jam sebelum bubar dengan damai.
Polisi juga menembakkan gas air mata dan meriam air untuk membubarkan demonstran yang dipimpin mahasiswa di dekat kota terbesar kedua di negara itu, Kandy, di tengah meningkatnya seruan agar Presiden Gotabaya Rajapaksa mundur.
Eran Wickramaratne, anggota parlemen SLB lainnya, mengutuk deklarasi keadaan darurat nasional, dan kehadiran pasukan di jalan-jalan kota.
“Kami tidak bisa membiarkan pengambilalihan militer. Mereka harus tahu kita masih demokrasi,” katanya dilansir dari Guardian.
Sensor informasi
Penyedia layanan internet diperintahkan untuk memblokir akses ke Facebook, WhatsApp, Twitter dan beberapa platform media sosial lainnya. Tetapi pemblokiran media sosial tidak menghalangi beberapa demonstrasi kecil di tempat lain di Sri Lanka.
Polisi menembakkan gas air mata untuk membubarkan mahasiswa di pusat kota Peradeniya. Protes di bagian lain negara itu berakhir tanpa insiden.
Outlet media swasta melaporkan bahwa Kepala Regulator Internet Sri Lanka mengundurkan diri setelah perintah larangan mulai berlaku.
Pemadaman itu dibatalkan di kemudian hari setelah komisi hak asasi manusia negara itu memutuskan bahwa Kementerian Pertahanan Sri Lanka tidak memiliki kekuatan untuk memaksakan sensor.
Perpecahan dalam pemerintah
Protes yang meningkat menyebabkan keretakan di dalam pemerintahan. Keponakan presiden Namal Rajapaksa sendiri menyuarakan protes mengutuk pemadaman sebagian internet.
“Saya tidak akan pernah memaafkan pemblokiran media sosial,” kata Namal, menteri olahraga negara itu.
Sebuah partai muda juga mengisyaratkan akan meninggalkan koalisi yang berkuasa dalam waktu seminggu.
Langkah itu tidak akan mengancam kelangsungan pemerintah, tetapi akan membahayakan peluangnya untuk secara sah memperpanjang status darurat nasional di negara itu.
Kekurangan mata uang asing yang kritis telah membuat Sri Lanka berjuang melunasi utang luar negerinya yang membengkak sebesar 51 miliar dollar AS, dengan pandemi merusak pendapatan vital dari pariwisata dan pengiriman uang.
Krisis Sri Lanka juga membuat negara yang bergantung pada impor tidak mampu membayar bahkan untuk kebutuhan pokok.
Kekurangan solar memicu kemarahan di seluruh Sri Lanka dalam beberapa hari terakhir, menyebabkan protes di pompa kosong, dan utilitas listrik memberlakukan pemadaman 13 jam untuk menghemat bahan bakar.
Banyak ekonom juga mengatakan krisis telah diperburuk oleh salah urus pemerintah, akumulasi pinjaman bertahun-tahun, dan pemotongan pajak yang keliru.
Sri Lanka sedang bernegosiasi dengan Dana Moneter Internasional untuk bailout.
https://www.kompas.com/global/read/2022/04/04/073100370/664-warga-sri-lanka-ditahan-aparat-setelah-status-darurat-nasional-tak