Berdasarkan verifikasi Kompas.com sejauh ini, informasi ini tidak benar.
KOMPAS.com - Beredar kabar di media sosial mengenai rencana lockdown atau karantina wilayah pada September 2023.
Kabar itu dikaitkan dengan imbauan penggunaan masker dan anjuran untuk kerja dari rumah atau work from home (WFH).
Berdasarkan konfirmasi Tim Cek Fakta Kompas.com, narasi itu tidak benar atau hoaks.
Kabar mengenai rencana lockdown pada September 2023 disebarkan oleh akun Facebook ini, ini, ini, dan ini.
Berikut narasi yang ditulis salah satu akun pada Rabu (6/9/2023):
Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh..
Pandemi 2.0 yang dijadwalkan tahun 2025, ternyata dimajukan, bukan di 2024, tetapi di 2023.
Dalam sebulan dua bulan, akan ada peraturan Lockdown, WFH, dan aturan pakai Masker.
Pertama agar masyarakat tidak protes, maka alasannya adalah Polusi Udara.
Chemtrails terus ditaburkan, DEW dengan hasil kebakaran hutan dan gedung-gedung, Langit dibuat jadi Forecast, seakan-akan menghitam karena jelaga Batubara atau BBM.
Pesan saya:
Satu
Tingkatkan Imunitas baik-baik.
Sudah saya berikan metodenya di postingan saya yang lalu.
Dua
Beli Ivermectin dan Hydroxychloroquine.
Untuk jaga-jaga.
Tiga
Jadilah orang baik, perbaiki Ibadah, sholat ditambah khusyu dan tepat waktu, rajin-rajin sedekah , perbanyak amal jariyah.
Bismillah. Wa Makaru Wamakarrallah.
Rumor soal "pandemi 2.0" dan lockdown ramai diperbincangkan setelah akun X (Twitter) @DokterTifa mengunggah narasi serupa, pada Rabu (6/9/2023).
Akun tersebut kerap menyebarkan disinformasi seputar Covid-19. Sehingga, validitas informasi kesehatan yang disebar perlu dipertanyakan.
Menanggapi isu tersebut, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi menjelaskan, pandemi bukanlah sesuatu yang dapat direkayasa atau direncanakan.
Sehingga, pemerintah tidak mungkin merencanakan lockdown tanpa penyebab yang jelas.
"Yang jelas pandemi bukan suatu rekayasa ya, karena itu adalah penyakit baru dan seperti pada umumnya, penyakit baru sering menimbulkan fatalitas yang besar karena kita belum kenal dengan penyakitnya," ujar Nadia, dalam keterangan yang diterima Kompas.com, Senin (11/9/2023).
Penggunaan masker dan WFH yang diterapkan di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) karena kualitas udara yang memburuk.
Belakangan, terjadi peningkatan polutan halus di Jabodetabek, yang jauh dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Energy Policy Institute (EPIC) mencatat, dalam 10 tahun terakhir terjadi peningkatan polutan halus di udara Jakarta dan sekitarnya mencapai 30 persen.
Indeks kualitas udara di DKI Jakarta dapat dilihat secara berkala di situs IQAir.
Kajian sebaran kualitas udara yang memburuk di Jabodetabek juga telah dilakukan oleh Green Peace.
Sementara, kajian soal sumber utama polusinya pernah dikaji oleh Vital Strategies.
Kemenkes juga tidak menganjurkan ivermectin dan hidroksiklorokuin sebagai bentuk pencegahan penyakit.
Nadia berpendapat, menghindari penyakit akibat penyebaran virus umumnya dilakukan dengan meningkatkan daya tahan tubuh.
"Tentunya menjaga kesehatan dan meningkatkan imunitas adalah upaya untuk mencegah sakit," katanya.
Rumor akan ada lockdown pada September 2023 merupakan hoaks.
Kemenkes menegaskan bahwa pandemi bukanlah sesuatu yang dapat direncanakan atau direkayasa.
Imbauan menggunakan masker dan WFH adalah respons meningkatnya polusi udara di wilayah Jabodetabek.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.