Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Narasi Keliru, Tudingan, dan Fakta soal Tragedi Kanjuruhan

Kompas.com - 14/10/2022, 20:49 WIB
Tim Cek Fakta

Penulis

KOMPAS.com - Sebanyak 132 korban meninggal dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, pada Sabtu (1/10/2022) malam.

Di tengah duka atas tragedi kemanusiaan tersebut, ada narasi yang berusaha mengalihkan kesalahan kepada para suporter Arema FC.

Narasi yang memojokkan suporter atas Tragedi Kanjuruhan beredar di media sosial. Narasi tersebut terbukti keliru dan fakta-faktanya telah terungkap.

Berikut narasi, tudingan, dan fakta terkait Tragedi Kanjuruhan.

Baca juga: Memutus Rantai Kekerasan Kepolisian Usai Tragedi Kanjuruhan

1. Tudingan terhadap Aremania

Saat awal kasus ini mengemuka di media sosial, beredar video yang mengeklaim bahwa Aremania adalah penyebab kerusuhan di Stadion Kanjuruhan.

Video berdurasi 3 menit 45 detik tersebut memperlihatkan momen ketika Aremania memasuki lapangan Kanjuruhan usai pertandingan selesai.

Ketika itu memang ada sebagian Aremania memasuki lapangan (pitch invading) setelah pertandingan berakhir.

Kendati demikian, tembakan gas air mata ke arah tribune adalah penyebab suporter panik dan berdesakan untuk berusaha menyelamatkan diri.

Baca juga: 5 Rekomendasi TGIPF Kanjuruhan untuk PSSI, Ketua Umum Disarankan Mundur

Akibatnya, ada penonton yang terinjak hingga mengalami sesak napas. Belum lagi efek gas air mata yang diduga menjadi penyebab kematian ratusan suporter di Kanjuruhan.

Komnas HAM menilai bahwa narasi yang menuding suporter merangsek ke lapangan sebagai penyebab kerusuhan tidak tepat.

"Kami, dengan beberapa Aremania, termasuk juga meng-cross-check informasinya dengan para pemain. Mereka (suporter) merangsek itu memang mau memberikan semangat, berkomunikasi dengan pemain," kata Komisioner bidang Penyelidikan dan Pemantauan Komnas HAM, Choirul Anam, dikutip dari Kompas.com, Rabu (5/10/2022).

Tidak ada Aremania yang menyerang pemain sehingga memicu kerusuhan. Ia memastikan tidak ada pemain yang terluka akibat turunnya suporter Arema ke lapangan.

Tudingan tehadap Aremania sebagai penyebab kerusuhan pun terbukti salah.

2. Kesaksian palsu "penjual dawet"

Di media sosial beredar rekaman suara seorang perempuan yang mengaku sebagai penjual dawet di Stadion Kanjuruhan.

Ia mengaku berjualan di sekitar pintu 3 Stadion Kanjuruhan memberikan kesaksian bahwa gas air mata tidak seberapa.

Selain itu, menurutnya, ada suporter memukul kepala polisi yang hendak menolong anak kecil, hingga menuduh bahwa suporter yang tewas mabuk karena berbau alkohol.

Setelah Kompas.com menelusuri pintu keluar 3, tidak ada penjual dawet di kawasan tersebut. Pegawai toko di sekitar lokasi itu juga bersaksi bahwa tidak pernah ada penjual dawet di situ.

Baca juga: Suprapti Sosok Penjual Dawet yang Sebar Hoaks Tragedi Kanjuruhan, Ternyata Kader PSI

Kemudian diketahui narasi rekaman itu bohong belaka. Suara penjual dawet dalam rekaman itu merupakan Suprapti Fauzi, kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kabupaten Malang.

Adapun Suprapti keluar dari PSI setelah rekaman itu terungkap dan sudah tidak menjadi pengurus partai sejak Juni 2020.

3. Botol miras ternyata obat sapi

Tudingan terhadap suporter tak berhenti sampai situ.

Saat penyelidikan, polisi menyatakan telah menemukan puluhan botol yang diduga minuman keras (miras) milik suporter di Stadion Kanjuruhan.

Narasi mengenai suporter yang mabuk sebagai penyebab kerusuhan pun kembali menyerang.

Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga (Kadispora) Kabupaten Malang Nazaruddin Hasan T membantah soal temuan itu.

Ia mengatakan, puluhan botol dalam kardus di Stadion Kanjuruhan bukanlah miras melainkan obat hewan ternak untuk penyakit mulut dan kuku (PMK).

"Tempo hari beredar di media jika itu katanya minuman beralkohol. Namun ternyata botol-botol tersebut adalah obat hewan ternak," ungkap Nazaruddin, seperti dilaporkan Kompas.com, Rabu (12/10/2022).

Baca juga: Saat Temuan Komnas HAM Runtuhkan Narasi Miras di Tragedi Kanjuruhan

Pemuda pelopor binaan Dispora Kabupaten Malang mengikuti lomba dan menitipkan karya mereka di lobi resepsionis Dispora Kabupaten Malang, yang kantornya juga berada di area stadion. Botol-botol tersebut tidak sempat dipindahkan karena faktor kesibukan.

"Barang itu berada di resepsionis Kantor Dinas Pemuda dan Olahraga Kabupaten Malang sejak bulan Agustus. Akan dikirimkan oleh staf kami ke Jakarta dua kardus melalui jasa ekspedisi. Namun paket tidak mau menerima karena barang cair," jelasnya.

4. Klaim gas air mata tidak berbahaya

Polisi mengeklaim penggunaan gas air mata dalam skala tinggi tidak mematikan. Bahkan, menurut polisi, gas air mata bukan penyebab tewasnya 132 orang di Kanjuruhan.

Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo merujuk keterangan sejumlah ahli, yakni ahli kimia dan persenjataan sekaligus dosen di Universitas Indonesia dan Universitas Pertahanan, Mas Ayu Elita Hafizah.

Ada pula Guru Besar Universitas Udayana sekaligus ahli bidang Oksiologi atau Racun, Made Agus Gelgel Wirasuta.

“Beliau (Made Agus Gelgel) menyebutkan bahwa termasuk dari doktor Mas Ayu Elita bahwa gas air mata ini dalam skala tinggi pun tidak mematikan,” kata Dedi, Senin (10/10/2022) dikutip dari Kompas.com.

Baca juga: TGIPF: Korban Tragedi Kanjuruhan Wafat dan Luka karena Desak-desakan akibat Gas Air Mata

Polisi juga mengakui adanya sejumlah gas air mata yang kedaluwarsa, sehingga dia mengeklaim zat kimia dalam gas tersebut telah menurun kadarnya.

"Ketika tidak diledakkan di atas maka akan timbul partikel lebih kecil lagi daripada bedak yang dihirup, kemudian kena mata mengakibatkan perih. Jadi kalau sudah expired (kedaluwarsa) justru kadarnya berkurang, kemudian kemampuannya akan menurun,” klaim Dedi.

Pernyataan tersebut dibantah Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF).

“Jadi (gas air mata) bukan senjata untuk mematikan, tapi senjata untuk melumpuhkan supaya tidak menimbulkan agresivitas. Yang terjadi (di Kanjuruhan) adalah justru mematikan. Jadi ini tentu harus diperbaiki,” kata anggota TGIPF Rhenald Kasali.

Korban selamat yang terkena gas air mata awalnya memang merasakan gejala sementara. Namun, sehari berikutnya, mata mereka menghitam dan memerah.

TGIPF telah membawa sejumlah longsongan gas air mata yang kedaluwarsa untuk diperiksa di laboratorium untuk membuktikan seberapa bahaya bahan kimia di dalamnya terhadap manusia.

“Salah satu kecurigaan kami adalah kadaluwarsa dan itu sudah dibawa ke lab semuanya diperiksa,” kata Rhenald.

Baca juga: Jokowi Diminta Evaluasi Penggunaan Gas Air Mata oleh Kepolisian

Direktur RSU PKU Muhammadiyah Prambanan, Dien Kalbu Ady menjelaskan, ada beberapa situasi di mana seseorang dapat mengalami dampak kesehatan jangka panjang setelah terpapar gas air mata dalam kadar yang tinggi.

"Masalah pernapasan seperti bronkitis kronis, gangguan kesehatan mental, kebutaan, kerusakan otak, hilangnya fungsi anggota tubuh bahkan sampai cacat permanen, gangguan kulit," jelas Dien, Senin (3/10/2022).

Dien membenarkan bahwa orang yang terkena gas air mata paling banyak berisiko memiliki gejala paling berat. Belum lagi fakta bahwa stadion merupakan tempat yang tidak sepenuhnya terbuka.

Gas air mata dapat mengancam jiwa terutama bagi mereka yang memiliki penyakit asma.

"Apabila terkena pada orang yang mempunyai asma, efeknya sangat berbahaya bisa memicu serangan asma berat dan kondisi mengancam jiwa," kata Dien.

(Sumber: Kompas.com/Imron Hakiki, Adhyasta Dirgantara, Rahel Narda Chaterine, Ahmad Nusrudin Yahya | Editor : Ardi Priyatno Utomo, Sabrina Asril, Pythag Kurniati, Icha Rastika, Bagus Santosa, Novianti Setuningsih)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Fakta Vaksin AstraZeneca: Efektivitas, Keamanan, dan Penggunaan di Indonesia

Fakta Vaksin AstraZeneca: Efektivitas, Keamanan, dan Penggunaan di Indonesia

Data dan Fakta
Pemberantasan Wabah Cacar, dari Teknik Kuno hingga Penemuan Vaksin

Pemberantasan Wabah Cacar, dari Teknik Kuno hingga Penemuan Vaksin

Sejarah dan Fakta
Berbagai Manipulasi Video Figur Publik Promosikan Judi 'Online'

Berbagai Manipulasi Video Figur Publik Promosikan Judi "Online"

Hoaks atau Fakta
Peristiwa Cimanggis 1998, Upaya Reformasi dan Menumbangkan Orde Baru

Peristiwa Cimanggis 1998, Upaya Reformasi dan Menumbangkan Orde Baru

Sejarah dan Fakta
[HOAKS] Prabowo Akan Menikahi Sofiatun Gudono pada 20 Mei

[HOAKS] Prabowo Akan Menikahi Sofiatun Gudono pada 20 Mei

Hoaks atau Fakta
Kebencian terhadap Perang Nuklir yang Melahirkan Godzilla

Kebencian terhadap Perang Nuklir yang Melahirkan Godzilla

Sejarah dan Fakta
[HOAKS] Cristiano Ronaldo Kritik Penampilan Marselino Ferdinan

[HOAKS] Cristiano Ronaldo Kritik Penampilan Marselino Ferdinan

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Pelatih Timnas Guinea Kaba Diawara Sebut Indonesia Negara Miskin

[HOAKS] Pelatih Timnas Guinea Kaba Diawara Sebut Indonesia Negara Miskin

Hoaks atau Fakta
INFOGRAFIK: Hoaks Saldi Isra Mundur dari Hakim MK, Simak Bantahannya

INFOGRAFIK: Hoaks Saldi Isra Mundur dari Hakim MK, Simak Bantahannya

Hoaks atau Fakta
Misteri Penemuan Mayat di Kepulauan Seribu pada 1998...

Misteri Penemuan Mayat di Kepulauan Seribu pada 1998...

Sejarah dan Fakta
[HOAKS] Lionel Messi Kritik Marselino Ferdinan karena Bermain Egois

[HOAKS] Lionel Messi Kritik Marselino Ferdinan karena Bermain Egois

Hoaks atau Fakta
Beethoven Diyakini Tak Sepenuhnya Tuli Saat Debut 'Symphony No. 9'

Beethoven Diyakini Tak Sepenuhnya Tuli Saat Debut "Symphony No. 9"

Sejarah dan Fakta
[HOAKS] Guinea Mundur dari Babak Play-off Olimpiade Paris 2024

[HOAKS] Guinea Mundur dari Babak Play-off Olimpiade Paris 2024

Hoaks atau Fakta
[KLARIFIKASI] Video Pertemuan Jokowi dan Megawati di Istana pada 2016

[KLARIFIKASI] Video Pertemuan Jokowi dan Megawati di Istana pada 2016

Hoaks atau Fakta
Hoaks, Spongebob Squarepants Terinspirasi Kisah Tragis Bocah 9 Tahun

Hoaks, Spongebob Squarepants Terinspirasi Kisah Tragis Bocah 9 Tahun

Hoaks atau Fakta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com