KOMPAS.com - Mendengarkan musik menjadi salah satu bagian dari gaya hidup atau kebiasaan yang kerap dilakukan masyarakat. Bahkan, 21 Juni kemarin pun diperingati sebagai hari musik sedunia.
Peringatan hari musik sedunia merupakan bentuk apresiasi atau penghormatan kepada para musisi yang telah berkarya untuk masyarakat luas.
Di Indonesia sendiri banyak bermunculan musisi berkualitas. Lewat karya musiknya, mereka mampu membangkitkan perasaan orang yang mendengarkan.
Salah satu yang akan terus terkenang adalah Wage Rudolf Supratman atau biasa dikenal sebagai WR Supratman.
Baca juga: 17 Agustus dan Kenangan terhadap Sosok WR Supratman...
Ia merupakan salah satu pahlawan nasional yang banyak membuat lagu tentang nasionalisme.
Beberapa karya WR Supratman mampu membangkitkan semangat nasionalisme masyarakat Indonesia untuk melawan penjajah. Misalnya, lagu "Indonesia Raya", "Indonesia Ibuku", "Di Timur Matahari", serta karya lainnya.
Dalam buku berjudul WR Supratman Guru Bangsa Indonesia (2018) karya Lilis Nihwan disebutkan bahwa dalam karyanya kerap memasukan diksi "Indonesia", bahkan sebelum negeri merdeka.
Dengan menyebut bangsa Indonesia, WR Supratman mengajak semua masyarakat dari Sabang hingga Merauke untuk menggalang persatuan melawan penjajah.
Saat itu nama Indonesia sebagai negara dan bangsa belum populer dan masih terpecah-pecah seperti bangsa Jawa, bangsa Sumatra, bangsa Sulawesi, bangsa Kalimantan, dan lainnya.
Baca juga: 17 Agustus, WR Supratman dan Lagu Indonesia Raya
Salah satu karya WR Supratman yang cukup fenomenal adalah lagu "Indonesia Raya". Lagu tersebut menjadi lagu kebangsaan Indonesia yang dihafal dari generasi ke generasi.
Lagu "Indonesia Raya" memiliki tiga stanza atau bait. Dari ketiga stanza tersebut yang paling popular adalah Stanza 1, karena sering dinyanyikan dalam berbagai momen.
Dalam Buku WR Suprtaman Guru Bangsa Indonesia (2018), banyak tokoh yang menyebut lagu "Indonesia Raya" pertama kali ditampilkan hanya dengan gesekan biola, tanpa lirik lagu yang disuarakan.
Lagu tersebut diputar saat Kongres Sumpah Pemuda II pada 28 Oktober 1928.