KOMPAS.com - Laksamana Cheng Ho dianggap sebagai salah satu orang yang berpengaruh dalam menyebarkan agama Islam di beberapa kawasan, termasuk Nusantara, melalui ekspedisi pada tahun 1405 hingga 1433.
Dikutip dari buku Cheng Ho Muslim Tionghoa (2000), selama 28 tahun ia memimpin armada raksasa untuk mengunjungi lebih dari 30 negara dan kawasan di Asia Tenggara, Samudra Hindia, Laut Merah, dan Afika Timur.
Jika dilihat dari waktunya, pelayaran yang dilakukan Cheng Ho lebih awal dibandingkan bahariwan Eropa seperti Christopher Columbus (1451-1506) maupun Vasco da Gama (1460-1525).
Cheng Ho lahir di Yunnan pada 1371 dengan nama Ma He, dari pasangan Ma Hazhi dan Wen. Ia adalah keturunan Suku Hui, suku minoritas di China yang kebanyakan beragama Islam.
Ma He berasal dari keluarga haji. Sejak kecil ia telah mendapatkan pelajaran agama serta mendengar cerita tentang perjalanan ayah dan kakeknya ke Mekkah.
Namun pada saat ia berusia 12 tahun, wilayah Yunnan yang awalnya dikuasai oleh Dinasti Yuan direbut oleh Dinasti Ming.
Jatuhnya kekuasaan Dinasti Yuan ke tangan Dinasti Ming membuat sejumlah pemuda di Yunnan termasuk Ma He dikebiri dan dijadikan kasim.
Dalam tradisi kekaisaran China, seorang kasim harus rela dikebiri untuk menjadi pelayan di istana kerajaan. Kemudian, Ma He dijadikan abdi oleh Pangeran Zhu Di di Istana Beiping.
Seiring berjalannya waktu, Ma He diangkat menjadi penasihat Pangeran Zhu Di dan diberi marga Cheng. Lantas, ia pun dikenal dengan nama Cheng Ho.
Ketika Pangeran Zhu Di berhasil merebut takhta dan menjadi kaisar muda, Cheng Ho memiliki tekad untuk mengembalikan kejayaan China seperti pada masa Dinasti Mongol.
Cheng Ho menawarkan diri melakukan ekspedisi ke sejumlah negeri dan akhirnya disetujui oleh Kaisar Zhu Di.
Cheng Ho mulai melakukan pelayaran pada tahun 1405 ke wilayah Asia Tenggara, seperti Semenanjung Malaya, Sumatera, dan Jawa.
Menurut catatan sejarah, Cheng Ho adalah muslim yang taat. Ia giat menyebarkan agama Islam di Tiongkok maupun negara-negara lainnya.
Tidak sedikit kaum muslim yang diajak Cheng Ho berlayar, seperti Ma Huan dan Guo Chongli, yang pandai bahasa Arab dan Persia. Mereka bekerja sebagai penerjemah.
Kemudian ada pula seorang bernama Hasan yang merupakan ulama Masjid Qinging di Kota Shan Xi.
Dikutip dari buku Para Penakluk dan Penjelajah (2011), Cheng Ho mengunjungi wilayah Nusantara sebanyak tujuh kali, kebanyakan ke wilayah Jawa.
Pada 1415 Cheng berlabuh di Muara Jati dan menghadiahi beberapa barang khas Tiongkok kepada Sultan Cirebon. Seperti halnya piring bertuliskan ayat kursi yang masih tersimpan di Keraton Kasepuhan Cirebon.
Cheng Ho juga pernah mengunjungi Samudera Pasai dan memberi lonceng raksasa “Cakra Donya” kepada Sultan Aceh, lonceng itu tersimpan di Museum Banda Aceh.
Kelenteng Sam Poo Kong, Semarang, juga menjadi saksi jejak perjalanan Cheng Ho di Jawa.
Kedatangan Cheng Ho ke Indonesia pada masa lampau dengan penuh persahabatan menciptakan hubungan yang harmonis antara masyarakat di Indonesia dengan etnis China.
Selain itu juga mendorong masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia. Ia tidak pernah memaksa orang lain untuk mengikuti kepercayaan yang diyakini.
Dalam jurnal berjudul Memaknai Spirit Misi Pelayaran Cheng Ho Sebagai Media Integrasi Sosial Etnik Tionghoa Di Indonesia Yang Berdimensi Multikuluralism (2018), disebutkan bahwa beberapa anak buah Cheng Ho memutuskan untuk tinggal.
Mereka menetap dan meneruskan syiar Islam, seperti Kyai Dampo Awang yang memilih tinggal di Semarang.
Kyai Dampo Awang kemudian mendirikan masjid yang sekarang berubah menjadi Kelenteng Sam Poo Kong.
Sikap bersahabat dan kasih sayang yang ditunjukan oleh Cheng Ho pun membuat Majapahit menerima kedatangan orang-orang Islam. Ini dibuktikan dengan ditemukannya kompleks makam Islam di dusun Troloyo, Kecamatan Trowulan Mojokerto.
Bahkan Raja Brawijaya V dari Majapahit juga memperistri seorang putri China yang beragama Islam. Keduanya memiliki putra bernama Raden Patah yang akhirnya menjadi raja di Kerajaan Demak.
Hubungan baik China dan Jawa berlanjut pada zaman kerajaan Demak dan Mataram, sehingga tidak mengherankan jika terdapat keramik China yang menempel di Masjid Agung Demak.
Cheng Ho meninggal dunia di Calicut, India, pada tahun 1433 ketika ia melakukan pelayarannya yang ketujuh. Sebelum meninggal, pada tahun 1432 Cheng Ho sudah sakit-sakitan.
Makamnya berada di kawasan Niu Shou Shan, Kota Nanjing. Namun ada beberapa pendapat bahwa yang dikuburkan di China hanya rambut dan pakaiannya saja, sementara jenazahnya dikuburkan di daerah Semarang.
https://www.kompas.com/cekfakta/read/2023/04/04/084500282/pengaruh-cheng-ho-dalam-penyebaran-islam-di-nusantara