KOMPAS,com - Tangyuan menjadi salah satu kuliner yang kerap ditemui ketika perayaan Imlek maupun Cap Go Meh. Penganan ini berbentuk bulat, kenyal dan disajikan dengan kuah di sebuah mangkuk kecil.
Masyarakat di Jawa kemudian mengenal tangyuan sebagai ronde. Dengan kata lain, tangyuan merupakan cikal bakal lahirnya wedang ronde.
Dalam buku berjudul Peranakan Tionghoa dalam Kuliner Nusantara (2013) yang ditulis oleh Aji Chen Bromokusumo, dijelaskan bahwa dulunya di Tiongkok tangyuan disajikan ketika Dongzi Festival. Dongzi Festival adalah perayaan terakhir pada penanggalan Imlek.
Di Tiongkok kuno, Dongzi Festival dirayakan dengan berkumpul bersama keluarga besar. Kemudian mereka akan membuat tangyuan. Tangyuan dibuat dari tepung ketan yang dibentuk bulat dan diberi warna cerah.
Tepung ketan yang dibuat bulat itu diberi isian wijen hitam atau pasta kacang merah yang kaya rasa. Setelah itu disajikan dengan kuah manis atau kaldu daging di sebuah mangkuk.
Bahan tepung ketan yang bersifat lengket disebut mempunyai arti bahwa persudaraan haruslah rekat. Nama tangyuan sendiri pun terdengar identik dengan istilah tuán yuan yang dalam bahasa Tiongkok berarti reuni.
Diyakini secara luas bahwa menyantap tangyuan bersama orang yang dicintai akan membawa kebahagiaan dan keberuntungan di tahun baru.
Dilansir BBC, tangyuan diyakini sudah ada lebih dari 1.100 tahun lalu ketika masa Dinasti Tang (618-907 M).
Saat itu orang-orang di Ningbo mulai memakan sejenis bola ketan yang diisi dengan wijen hitam, lemak babi, dan gula putih yang lembut.
Ada beberapa nama untuk hidangan tersebut, tetapi pada awal 1400-an dikenal luas sebagai yuanxiao yang berarti malam pertama. Nama itu diambil untuk menghormati bulan purnama pertama Festival Yuanxiao atau Festival Lentera.
Namun, legenda mengatakan bahwa antara 1912-1916, Presiden China saat itu, Yuan Shikai, memberi perintah untuk mengubahnya. Sehingga kemudian diubah menjadi tangyuan yang secara harfiah berarti bola bundar dalam sup.
Masuk ke Indonesia menjadi ronde
Orang China datang ke Indonesia membawa beragam budaya, termasuk makanan. Tangyuan pun lantas dikenalkan kepada orang Indonesia.
Namun, masyarakat Indonesia melakukan modifikasi dengan bahan-bahan yang ada di Nusantara, sehingga muncul wedang ronde.
Dalam buku Peranakan Tionghoa dalam Kuliner Nusantara (2013) dijelaskan bahwa ronde berasal dari bahasa Belanda yakni "rond" yang artinya bulat. Kemudian dalam bahasa Belanda jamak digunakan akhiran "je" sehingga menjadi "rondje".
Namun, bagi orang pribumi sulit untuk mengucapkan rondje, sehingga akhirnya menjadi ronde. Ronde yang disajikan di Indonesia pun mempunyai berbedaan dengan tangyuan.
Hasan Karman, budayawan peranakan Singkawang menjelaskan bahwa sebenarnya dalam tangyuan tidak boleh ada rasa asin, pedas, asam, apalagi pahit.
Sebab, tangyuan memiliki makna simbolis, yakni menekankan filosofi kebaikan dari rasa manis.
Sedangkan ronde yang ada di Indonesia terutama di Pulau Jawa menggunakan jahe yang memiliki cita rasa pedas. Di samping itu juga ada tambahan gula merah yang tidak dikenal di Tiongkok pada masa lalu.
"Istilah wedang yang artinya minuman panas dalam Bahasa Jawa, tentu sangat berbeda dengan kuah panas manis dalam tangyuan. Kita bisa menyimpulkan sebenarnya wedang ronde di Indonesia ini sudah merupakan akulturasi dan modifikasi dari tangyuan," kata Hasan seperti pernah ditulis Kompas.com sebelumnya.
https://www.kompas.com/cekfakta/read/2023/01/19/113300582/tangyuan-sajian-khas-imlek-yang-jadi-cikal-bakal-wedang-ronde