KOMPAS.com - Ayam Goreng Suharti adalah salah satu restoran ayam goreng yang cukup terkenal di Indonesia.
Berawal dari Yogyakarta, kini Ayam Goreng Suharti telah memiliki sejumlah cabang di berbagai kota di Indonesia.
Terkenal dengan kremesnya, dan juga rasanya yang khas dan enak, ternyata kisah sukses Ayam Goreng Suharti memiliki lika-liku perjuangan yang cukup panjang.
Lantas, bagaimana sejarah Warung Ayam Goreng Suharti?
Mau bisnis bareng pasangan?
Coba pikir ulang deh, kalo gak mau ribet dan pecah kongsi kaya ayam goreng Suharti.Utas~ pic.twitter.com/cYpsNMpOKP
— Txt dari keuangan (@WarungKopiKita) April 17, 2023
Pembahasan mengenai Ayam Goreng Suharti sempat menjadi trending dan viral di Twitter sejak Selasa (18/4/2023).
Hal itu bermula dari unggahan akun Twitter @WarungKopiKita yang menjelaskan mengenai kisah Ayam Goreng Suharti yang kemudian pecah kongsi antara Suharti dan suaminya.
Setelah perpecahan itu kini ada dua merek yang hampir mirip, yakni Ayam Goreng Suharti yang dikelola Suharti dan Ayam Goreng Ny Suharti yang dikelola suami Suharti, Bambang Sachlan Pratohardjo.
Padahal, keduanya sempat bersama-sama merintis bisnis restoran ayam goreng tersebut dari nol sejak 1970-an.
Dikutip dari Harian Kompas (18/6/1977) bisnis Ayam Goreng Suharti tak bisa dilepaskan dari nama Ayam Goreng Mbok Berek, nenek Suharti.
Meskipun Suharti merupakan cucu dari pengusaha ayam goreng yang dikenal dengan Mbok Berek namun ia tidak mengandalkan kekayaan neneknya.
Setelah mempelajari cara membuat bumbu ayam goreng khas neneknya di rumah makan milik sang nenek selama beberapa waktu, Suharti kemudian mulai menjajakkan ayam gorengnya sendiri.
Itu dilakukan Suharti di tahun 1956 saat usianya 26 tahun dengan dibantu sang ayah.
Ia menjual ayam goreng dagangannya dengan berkeliling menggunakan sepeda tua, sembari memboncengkan bakul besar yang berisi dagangannya.
Suharti dengan sepedanya, berkeliling menawarkan ayam goreng dari Yogyakarta hingga ke Surakarta.
Lihat postingan ini di Instagram
Kemudian Suharti menikah di tahun 1961 dengan Sachlan Prato Hardjono yang merupakan seorang pegawai Kepatihan Yogyakarta.