“A healthy ocean is vital to our economy and well-being.” Sehat-lestari kelautan sangat vital bagi kesejahteraan dan kesehatan kita. Begitu pesan ekonom dan pengacara Scott Harvey Peters kelahiran Ohio (1958), alumnus New York University School of Law, yang pernah menjadi staf pada Environmental Protection Agency (EPA) di Amerika Serikat (AS).
Sebanyak delapan ahli biologi dan lingkungan kelautan dari enam negara (Tiongkok, Swedia, Australia, Inggris, Irlandia, dan Norwegia) juga mendukung pandangan Scott Peters. Jurnal International Journal of Environmental Research and Public Health edisi Juni 2020, merilis kesimpulan riset para ahli itu: “The ocean provides resources key to human health and wellbeing, including food, oxygen, livelihoods, blue spaces, and medicines.” Kelautan menyediakan sumber daya pokok kesehatan manusia dan kesejahteraan rakyat, misalnya pangan, oksigen, ruang-air, lapangan-pekerjaan, dan obat-obatan.
Pada 22 Februari 2022 di Jakarta, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menetapkan Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) Nomor 34 Tahun 2022 tentang Rencana Aksi Kebijakan Kelautan Indonesia Tahun 2021-2025. Pertimbangan Perpres ini ialah mewujudkan cita-cita Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia dan pelaksanaan kebijakan kelautan Indonesia secara terpadu dan berkesinambungan dari tahun 2017-2025.
Baca juga: Terbitkan Perpres 34/2022, Jokowi Tegaskan Lagi Pembangunan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia
Perpres Nomor 34/2022 menyebut secara umum fungsi kelautan dan program kegiatan kelautan bidang obat-obatan, usaha, pekerjaan, keragaman-hayati, pangan, penyimpan karbon, wisata, perlindungan spesies, dan air bersih. Meski program-programnya belum terlihat rinci, terukur, terarah, dan tidak-bias dengan kontrol kuat. Misalnya, program sektor sistem energi berbasis sumber daya kelautan, masih samar-samar, misalnya program tidalpower dan sistem energi sejenisnya; fokus sistem energi dari Perpres ini tampaknya terutama ke sumber daya mineral, antara lain sumber-sumber daya alam fosil.
Sedangkan Peters melihat perubahan iklim kini memasuki fase darurat dengan ancaman nyata dan sangat berisiko; pilihannya ialah langkah cepat-darurat, tegas dan keluar dari garis-garis kepentingan partai (PB Monthly, 2020). Contoh antara lain, dekarbonisasi tata-ekonomi hingga net-zero karbon, misalnya regulasi polutan-polutan iklim seperti karbon hitam, methane, dan hidrofluoro-karbon yang lebih berbahaya dari karbon-dioksida (Brendel, 2020; San Diego Union-Tribun, 2020) berbasis kelautan.
Begitu pula Falkenberg et al. (2020) lebih menekankan unsur pokok kelautan yang mendukung kehidupan sehat-lestari di laut dan manusia. MacGlade et al. (2012) juga lebih menitikberatkan pada fungsi-nilai air (hidrosfer) dari kelautan bagi manusia dan ekosistem kelautan. Prinsip-prinsip ini menjadi patokan dalam tata-kelola sumber daya kelautan.
Bagi Indonesia, fokus kebijakan kelautan ialah menjabarkan tugas pemerintah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memajukan kesejahteraan umum. Ini perlu mendapat prioritas sesuai amanat alinea IV Pembukaan UUD 1945.
Baca juga: Indonesia Perlu Blue Economy, Apa Itu?
Contoh-contoh penerapan konsep blue-economy dalam strategi kebijakan kelautan dan perikanan RI, menurut Wenhai et al. (2019:4), antara lain pengembangan perikanan laut, transportasi laut, wisata laut, industri produksi barang dan energi kelautan, koordinasi kebijakan ekonomi nasional dan kelautan, koneksi perdagangan dan infrastruktur, beberapa iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) dan sumber daya manusia (SDM). Modelnya antara lain ‘blue-economy’ di Lombok dan Anamabs dan pantai Tomini—industri kelautan, perikanan, wisata, dan lain-lain.
Konsep dan strategi blue-economy Indonesia tersebut di atas sedikit berbeda dengan Tiongkok. Misalnya, sejak tahun 2011, Tiongkok mengembangkan strategi blue economy berbasis Iptek. Tiongkok membangun enam model inovasi, konservasi, dan investasi berbasis iptek pada enam zona blue-economy seperti Shandong Peninsula Blue Economic Zone, Blue Silicon Valley, dan Yangtze River Delta.
Tahun 2011, pemerintah Tiongkok menyetujui program blue-economy Shandong Peninsula Blue Economic Zone (SPBEZ) Development Plan. Ini merupakan strategi blue economy pertama level daerah dan kelautan Tiongkok. Targetnya ialah SPBEZ menjadi klaster industri kelautan berbasis iptek, khususnya pusat pendidikan kelas dunia bidang sains kelautan dan percontohan zona reformasi ekonomi kelautan nasional, dan demo penentu zona peradaban ekologis kelautan Tiongkok.
Tahun 2015, SPBEZ membangun model dasar industri kelautan guna memperkuat ketahanan ekonomi, inovasi berbasis sains dan teknologi kelautan khususnya kualitas lingkungan ekologis tanah-laut, lansekap ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat. Tahun 2020, SPBEZ mengembangkan ekonomi-kelautan, struktur industri, dan menjahit saling-dukung-harmoni manusia dan lingkungan-kelautan.
Artinya, Tiongkok lebih dahulu membangun kecerdasan tentang laut, air, dan lahan melalui iptek. Tahap berikut ialah rajut sosial, ekonomi, dan lingkungan kelautan berbasis industri. Model blue-economy Tiongkok tersebut di atas, mirip model blue economy Uni Eropa sejak 2009. Hasilnya, hingga tahun 2020, sektor ekonomi lautan dan laut Uni Eropa telah menyerap empat juta tenaga kerja dan memasok 1,3 persen PDB Uni Eropa (European Parliamentary Research Service, 2020:1).
Uni Eropa membangun sektor blue economy, misalnya perikanan, aqua-kultur, wisata pantai, transportasi laut, pelabuhan, perkapalan, ekstraksi minyak-gas di laut, terutama berbasis iptek, khususnya bioteknologi.
Sektor ini menghasilkan 180 miliar euro tahun 2017. Secara perlahan, ekstraksi minyak-gas di laut Uni Eropa berkurang; karena sistem energi angin lepas-pantai semakin meningkat.