Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Darwin Darmawan

Pendeta GKI, Mahasiswa doktoral ilmu politik Universitas Indonesia

Idul Adha dan Spirit Merawat Kehidupan

Kompas.com - 20/07/2021, 15:17 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

CUITAN Ade Armando di Twitter yang membandingkan jumlah kematian karena Covid-19 di Inggris dan di Indonesia menjadi viral.

Netizen banyak yang protes terhadap cuitannya. Sebagian besar melihat Ade Armando tidak simpatik terhadap korban dan keluarganya karena ia memandang orang yang meninggal karena Covid-19 sekedar sebagai angka.

Selain itu, ucapannya dilihat tidak sensitif terhadap jumlah peningkatan kasus dan kematian di Indonesia yang kini menjadi episentrum Covid-19 di Asia.

Kematian dalam angka vs kematian sebagai pengalaman subyektif

Ada dua pandangan yang berbeda tentang kematian (Hoffman, 2020). Pertama, kematian secara plural (death in plural).

Cara pandang ini melihat kematian sebagai fenomena kolektif dan objektif. Kematian dilihat di tingkat populasi, dikuantifikasi, disajikan sebagai angka, dalam rangka membandingkan dan menganalisis.

Di tengah pandemi Covid 19 ini, pandangan tentang kematian yang plural tidak bisa terhindarkan. Pemerintah dan masyarakat perlu mengetahui jumlah korban dari sars cov-2 yang ganas ini.

Kedua, kematian sebagai pengalaman subyektif personal. Pandangan ini melihat, kematian adalah keniscayaan. Setiap orang akan mengalami kematian.

Kalau kemarin (19 Juli 2021) 1093 orang meninggal dunia, maka di antara 1093 orang itu, ada anak kecil yang kehilangan ibunya, ada orang tua yang kehilangan anak semata wayangnya, ada seorang pria yang batal menikah karena calon isterinya meninggal dunia.

Kalau hari ini ratusan juta masyarakat Indonesia tidak termasuk dari keluarga korban Covid 19 yang meninggal dunia, bisa jadi esok atau lusa, maut akan menjemput mereka atau orang yang mereka cintai.

Ketika mengatakan prosentase orang yang meninggal dunia karena Covid-19 di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan di Inggris, Ade Armando sedang membicarakan kematian secara plural. Ia melihatnya sebagai fenomena objektif.

Dengan rasionalitas, ia secara dingin memandang jumlah orang yang meninggal dunia sebagai angka, untuk mengatakan bahwa kondisi Indonesia tidak terlalu buruk kalau dibandingkan dengan negara maju seperti Inggris.

Memento Mori: seruan pengingat kematian

Setiap mahluk hidup pasti akan mati. Kebenaran itu yang hendak disampaikan dalam ungkapan memento mori (Latin: ingatlah kamu akan mati).

Menurut tradisi Romawi, ungkapan memento mori diucapkan oleh seorang budak kepada seorang jenderal pemenang perang.

Ketika melalukan parade kemenangan perang, seluruh rakyat bersorak-sorai merayakan kemenanangan tersebut. Jenderal tersebut begitu dipuji karena ia merepresentasikan kekuatan, kejayaan dan kebesaran.

Di belakang jenderal itu, ada seorang budak yang bertugas untuk membisikkan sesuatu yang penting untuk jenderal tersebut hayati: Lihatlah ke belakang. Ingatlah kamu adalah manusia. Ingatlah kamu akan mati (Respice post te. Hominem te esse memento. Memento mori.).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com