Oleh: Muhardis*
SEMALAM (saat artikel ini ditulis), 13 Oktober 2022, merupakan waktu perdana penayangan film besutan sutradara Fajar Nugros yang diberi judul “Inang”.
Sejak awal pemutaran film, teman sebangku sudah menunjukkan mimik ketakutan. Rupanya dia tidak tahu kalau film yang akan ditonton ini bergenre horor. Aku-nya, ia hanya diajak untuk nonton film yang baru dirilis.
Dia baru saja menyelesaikan bimbingan disertasi dengan promotor saat temannya mengabari kalau ia sudah dipesankan satu tiket.
Singkat cerita, film diawali dengan pemaparan kondisi tokoh utama, Wulan, meminta pertanggungjawaban kekasihnya atas kehamilannya yang memasuki usia 16 minggu.
Seperti yang sudah diterka penonton, sutradara memilihkan jalan cerita sang kekasih tidak ingin bertanggung jawab.
Lagi, teperdaya dengan tanda linguistik pada judul, Inang, penonton berekspektasi nantinya Wulan akan memilih menggugurkan kandungannya dan anaknya menjadi Inang; Wulan meninggal saat melahirkan anaknya dan ia menjelma menjadi Inang; Wulan melahirkan anaknya di dalam kuburan saat ia memilih bunuh diri bersama anak di dalam kandungannya untuk kemudian menjadi Inang.
Inang dalam pikiran penonton dapat saja berupa hantu layaknya film-film horor, setidaknya menyerupai suster ngesot, kuntilanak, si manis jembatan Ancol, atau hantu-hantu lain yang berjenis kelamin perempuan.
Tentunya sutradara sudah memikirkan matang-matang memilih tanda linguistik tersebut menjadi judul film.
Tanda linguistik/Signe Linguistique terdiri atas petanda/signifie dan penanda/signifian (Chair, 1990). Penanda dapat memiliki petanda yang berbeda jika berada dalam konteks yang berbeda.
Di sinilah pentingnya insan perfilman me-milih penanda dengan matang sesuai dengan petanda yang di-sasar.
Penggunaan tanda nonverbal/nonlinguistik berupa foto perempuan bergaun mendekati warna putih, atau setidaknya tidak benar-benar putih, dilengkapi tanda linguistik Inang, makin mempertegas bahwa Inang merupakan sosok makhluk alam gaib.
Tidak terlalu berlebihan analisis demikian karena yang sudah-sudah, jika di poster film ada tanda nonlinguistik berupa foto suster ngesot, pocong, jelangkung, dan sebagainya, dapat dipastikan di film tersebut akan dimunculkan.
Ini yang menjadi pertanyaan penonton saat film menuju puncak dan melandai menuju ending. Penonton saling lempar tanya, Inangnya mana? Celetukan dibalas dengan jawaban, Inangnya nanti di akhir cerita, lagi dandan soalnya.
Sepanjang pemutaran film, tidak ada suasana horor yang tercipta. Penonton malah tertawa ngakak saat scene memperlihatkan dalam kondisi menyeramkan disertai musik yang tadinya disisipkan untuk menghadirkan kesan horor, bayi dalam bedongan dengan muka laki-laki tua.
Bukannya takut, scene tersebut memancing gelak tawa. Tadinya, mereka berpikir kalau bayi dalam bedongan itulah yang menjadi Inang, sang tokoh utama film.
Selain Inang sebagai judul, tanda linguistik lain yang memicu pengamatan lebih lanjut saat menonton film ini ialah adanya verbal abuse yang sering dilemparkan tokoh utama, Wulan dan Bergas.
Tidak hanya satu dua orang penonton yang sepertinya terganggu dengan tanda tersebut. Bahkan, penonton menjuluki film ini dengan film anjing (diucapkan dengan nada biasa seperti saat mengucapkan salah satu jenis hewan peliharaan).
Hal tersebut bukan tanpa alasan. Tokoh Wulan seringkali, bahkan sepanjang pemutaran film, menggunakan tanda linguistik tersebut.
Misalnya, saat dia direndahkan tokoh laki-laki, ia dengan gampang melafalkannya laki-laki anjing; anjing Ardiman, dan pintu anjing.
Ia juga selalu menyelipkan tanda tersebut saat tidak menemukan apa yang dicarinya, seperti, anjing, miskin-miskin juga; anjing, pada naroh duit di mana sih; jangan bahasa Inggris, anjing.