JAKARTA, KOMPAS.com - Siapa yang tak mengenal Papermoon Puppet? Mungkin jika nonton film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) 2, pasti tahu Papermoon Puppet yang ada di salah satu scene dari film tersebut.
Dalam scene tersebut, Rangga dan Cinta menonton pertunjukan teater boneka tanpa suara yang memukau.
Papermoon Puppet merupakan pertunjukkan teater boneka dengan menggabungkan seni pertunjukkan dengan seni rupa.
Sedangkan Papermoon Puppet Theatre merupakan komunitas yang menyelenggarakan pertunjukkan tersebut.
Komunitas teater modern itu berdiri pada tahun 2006 di Yogyakarta, yang didirikan oleh Maria Tri Sulistyani dan suaminya Iwan Effendi.
Baca juga: Cerita Saat Papermoon Puppet Hibur Anak-anak Korban Gempa Yogyakarta
Dalam kanal YouTube Kompas.com, Ria panggilan akrab untuk Maria bercerita di balik terbentuknya Papermoon Puppet. Berikut Kompas.com merangkumnya.
Ria mengatakan, Papermoon Puppet Theatre terbentuk dari keras kepala dan kecintaannya terhadap seni.
Awal mula membentuk Papermoon Puppet Theatre, Ria belum menemukan prototipe atau model seperti komunitas yang dibentuknya saat itu.
Namun, berangkat dari kecintaannya dengan anak-anak dan seni, Ria bertekad membagikan ilmu seninya kepada anak-anak.
Akhirnya, ia membuat sanggar anak-anak dengan perpustakaan kecil yang terkadang melakukan pentas boneka.
Sanggar itu kemudian diberi nama Papermoon karena namanya yang bagus dan unik.
"Sebenarnya Papermoon sendiri organik banget ya mas. Semua yang kami lakukan di papermoon itu tumbuh dari kebutuhan orang-orang yang bekerja di dalamnya gitu," ungkap Ria seperti dikutip Kompas.com dalam kanal YouTube Kompas.com, Rabu (6/1/2021).
"Jadi awalnya papermoon itu, aku bikin sesimpel, aku suka sama seni rupa, aku senang sama seni pertunjukan, dan aku konsen sama pendidikan seni untuk anak. Awalnya itu," katanya lagi.
Baca juga: Papermoon Puppet Theatre, Seni yang Berawal dari Keras Kepala
Ria mengaku miris melihat kurangnya kreativitas seni anak-anak dalam menggambar. Entah datang darimana asal usul pengajarannya, dahulu tiap anak jika diminta menggambar, mereka akan serentak menggambar pemandangan gunung.
Tak pakai gradasi, anak-anak terdahulu justru menggunakan warna yang sama untuk menggambarkan pemandangan gunung.