"Saya sadar, sebagai orangtua korban, kami tidak punya uang untuk menuntut kematian anak kami. Kami juga bodoh dalam bidang hukum. Tidak heran kalau negara yang menguasai uang dan hukum ini mempermainkan kami," kata Sumarsih di depan makam Wawan, TPU Joglo, November 2004.
KOMPAS.com - Hampir 25 tahun, Maria Katarina Sumarsih terus menuntut keadilan atas kematian anaknya, Bernardinus Realino Norma Irmawan.
Pada 11 November 1998, mahasiswa Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya yang akrab disapa Wawan itu meminta izin untuk menginap di kampus selama tiga hari.
Ia ingin bergabung bersama puluhan ribu mahasiswa dan masyarakat, mengepung Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta.
Pada 12 November 1998, mahasiswa berunjuk rasa menentang Sidang Istimewa MPR yang dikhawatirkan melegitimasi kekuasaan Rezim Orde Baru melalui pengangkatan Bacharuddin Jusuf Habibie sebagai presiden.
Setelah Soeharto mengumumkan pengunduran diri pada 21 Mei 1998, Indonesia mengalami transisi pemerintahan yang dipimpin BJ Habibie. Ia pun mengumumkan susunan Kabinet Reformasi.
Salah satu agenda Sidang Istimewa yakni pembacaan pertanggungjawaban BJ Habibie sebagai presiden pengganti Soeharto. Namun, para mahasiswa menuntut pertanggungjawaban BJ Habibie ditolak dalam Sidang Istimewa.
Mereka juga menuntut penghapusan dwi-fungsi ABRI sebagai salah satu bentuk campur tangan politik dari kalangan militer.
Sidang Istimewa setuju mempercepat pelaksanaan pemilu meski selebihnya keputusan yang dihasilkan tidak sesuai dengan tuntutan massa.
Sementara di luar gedung terjadi pertumpahan darah. Mereka yang menyuarakan aspirasi demi masa depan demokrasi Indonesia, justru dipukuli dan ditembaki.
Pada 13 November 1998 sore, sekitar pukul 16.00, terjadi tembakan bertubi-tubi oleh aparat di kawasan Semanggi terhadap pengunjuk rasa, khususnya mengenai posisi TNI di lembaga legislatif.
Penembakan membabi buta berlangsung sampai tengah malam.
Wawan turun ke jalan bukan sebagai demonstran. Ia menjadi anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK). Nahas, ia ditembak aparat di halaman kampusnya ketika hendak menolong seorang korban.
Wawan merupakan salah satu dari 17 korban jiwa dalam Tragedi Semanggi I. Ada enam mahasiswa kehilangan nyawa.
Selain Wawan, ada mahasiswa Institut Teknologi Indonesia (ITI) Teddy Wardani Kusuma, mahasiswa Universitas Jakarta Engkus Kusnadi, mahasiswa Universitas Terbuka Heru Sudibyo, mahasiswa Universitas Yayasan Administrasi Indonesia (YAI) Sigit Prasetyo, dan mahasiswa Universitas Indonesia (UI) Muzammil Joko.
Saat peristiwa itu terjadi, Sumarsih bekerja sebagai bendahara Partai Golongan karya (Golkar). Ia bekerja hingga sore, kemudian pulang ke rumah dan bertemu suaminya Arief Priyadi.
Situasi memang sedang tegang karena agenda reformasi. Sumarsih pun memantau berita di televisi, sambil berharap anaknya baik-baik saja.
Sumarsih terperanjat melihat tembakan aparat ke massa aksi di siaran televisi. Ia panik dan segera meminta Arief untuk menemaninya menjemput Wawan.