Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
David Abdullah
Penulis di Kompasiana

Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Soto Lamongan, Kuliner Hasil Kawin Silang Ayam, Telur, dan Budaya

Kompas.com - 30/04/2022, 20:41 WIB
Kompasianer David Abdullah,
Farid Assifa

Tim Redaksi

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Soto Lamongan, Kuliner Hasil Kawin Silang Ayam, Telur, dan Budaya"

KOMPAS.com - Ada banyak jenis kuliner Indonesia yang terkenal tidak hanya di kalangan dalam negeri tetap juga di mancanegara. Salah satunya adalah olahan soto, yang disebut mirip sup oleh orang Barat.

Soto merupakan salah satu jenis kuliner populer Nusantara yang memiliki banyak varian di masing-masing daerah. Di balik kaldunya yang pekat nan gurih, ternyata Soto bukan kudapan asli Indonesia.

Sebuah riset berjudul "Menyantap Soto Melacak Jao To Merekonstruksi (Ulang) Jejak Hibriditas Budaya Kuliner Cina dan Jawa" terbitan tahun 2013, menemukan bahwa soto sejatinya berasal dari Negeri Tirai Bambu.

Terminologi "soto" merujuk pada salah satu ragam kuliner Tiongkok yang dalam dialek Hokkian disebut cau do, jao to, atau chau tu, artinya kudapan jeroan dengan rempah-rempah.

Baca juga: Soto Lamongan Nyeel Pak Jupri Sidoarjo, Sotonya Pakai Topping Kulit Pangsit Goreng

Di Indonesia, soto pertama kali dideteksi di pesisir pantai utara Jawa pada abad ke-19. Olahan itu memiliki ciri khas adanya kuah dengan potongan beraneka ragam daging atau jeroan.

Selain itu, jejak asimilasinya juga dapat diidentifikasi melalui adanya mi ataupun bihun, taburan bawang putih goreng, dan penyajian memakai sendok bebek serta mangkuk yang lazimnya dipakai sebagai bahan dan alat makan sup di Cina. 

Asumsi itu lantas diperkuat oleh Denys Lombard dalam bukunya yang bertajuk "Nusa Jawa II: Silang Budaya Jaringan Asia, 1996".

Menurut catatan Lombard, imigran dari Cina sudah banyak terlibat dalam kegiatan produksi di pesisir pulau Jawa sejak abad ke-18, yang mana salah satunya dengan membuka rumah makan.

Berdasarkan catatan kolonial, peradaban pesisir utara Pulau Jawa menjadi melting-pot (asimilasi) sejumlah etnis yang hidup di dalam arus perdagangan seperti Cina, Arab, India, Eropa, dan Jawa.

Mulai dari Kudus menuju barat hingga ke Semarang, Pemalang, dan seterusnya ke arah timur hingga ke Lamongan, Madura, dan Surabaya, soto menemani lidah para pelancong dan pedagang yang sekedar lewat atau menetap di sepanjang pesisir.

Selain mendirikan rumah makan, warga keturunan Cina juga tidak jarang yang berdagang secara keliling menggunakan gerobak atau pikulan.

Cara itulah yang kemudian diadopsi oleh masyarakat Jawa dalam menjajakan soto dengan memakai gerobak atau pikulan yang dipakai hingga hari ini. Saat itu soto disajikan dengan menggunakan mangkuk keramik dan sendok sup (sendok bebek).

Awalnya–sesuai penyajian di Cina–soto selalu memakai daging babi. Namun, oleh karena masyarakat Nusantara ketika itu sudah banyak yang memeluk Islam, maka warga peranakan Cina pun mengakalinya dengan menggunakan daging ayam, sapi, kerbau, atau jeroan.

Sejak saat itu soto mulai digemari lantas menyebar ke seluruh penjuru Indonesia. Dengan pengaruh ragam budaya kuliner Indonesia dan keanekaragaman rempah-rempah, soto memiliki ciri khas masing-masing di setiap daerah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com