Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Soal Kerusakan Lingkungan, Dedi Mulyadi: Kita Malu sama Harimau yang Halangi Eskavator

Kompas.com - 26/01/2022, 09:16 WIB
Farid Assifa

Penulis

KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk lebih terbuka menjelaskan berbagai aspek yang terjadi pada berbagai kasus kerusakan lingkungan di Indonesia.

Menurut Dedi, berbicara soal lingkungan, KLHK hanya harus fokus pada dua hal. Pertama adalah menjaga yang sudah ada seperti gunung, sungai dan hutan agar terus berkesinambungan.

Tidak ada lagi perusakan, penebangan, pencemaran hingga penambangan baru.

Kedua adalah recovery (pemulihan) seperti gunung, aliran sungai dan hutan yang rusak.

“Kalau dua-duanya terus berjalan tidak akan pernah selesai. Kita lingkungan hidup recovery yang baru kemudian membangun kerusakan baru. Di sinilah peta data mulai kita petakan wilayah mana yang akan fokus recovery dan wilayah mana yang harus dijaga,” ujar Dedi Mulyadi saat rapat kerja dengan Menteri KLHK Siti Nurbaya di DPR kemarin, sebagaimana dilansir dari keterangan tertulisnya Rabu (26/1/2022).

Baca juga: YouTube Miliknya Tembus 3 Juta Subscriber, Dedi Mulyadi Berharap Bisa Ubah Citra DPR

Dedi menilai, KLHK mendapat berkah di era digital saat ini karena ada respons publik, terutama generasi Z terhadap isu lingkungan. Dengan seperti itu kini isu lingkungan selalu viral dan menjadi perhatian publik.

“Coba KLHK sikapi isu sensitif yang viral misalnya beberapa waktu lalu eskavator berhadapan dengan harimau. Pertanyaan saya kalau eksavator sudah berhadapan dengan harimau berarti yang salah eksavator karena melakukan perluasan kawasan sawit lagi," katanya.

"Pertanyaan saya sawit itu mau sampai kapan diperluas? Apakah kita tidak akan menyisakan ruang konservasi, kita tidak akan menyisakan hutan lindung? Apakah negeri ini cukup dengan satu komoditi? Ini harus ada penjelasan publik dalam rangka menjaga yang sudah ada. Kita malu dong sama harimau yang halangi eskavator,” beber Dedi.

Aspirasi DPR

Selain itu, Dedi juga berpandangan tidak ada kaitannya aspirasi DPR dengan memperjuangkan kepentingan publik dengan aspek-aspek yang melemahkan daya kritis.

“Saya enggak mau anggota DPR dapat aspirasi misal Rp 500 juta untuk di dapil kemudian diam terhadap 100.000 hektare hutan yang digunduli," katanya.

"Misal kita dapat aspirasi Rp 500 juta tidak ada artinya tapi kerusakan lingkungan terjadi di mana-mana. Aspirasi adalah kebutuhan publik yang tidak bisa dikaitkan dengan apapun. Saya rela tidak ada aspirasi asalkan KLHK bisa fokus dan tegas,” ujarnya.

Dedi juga menyoroti kerugian negara akibat kerusakan lingkungan yang jika dikalkulasikan bisa mencapai triliunan rupiah.

Misalnya, seseorang mendapatkan izin penambangan di areal 100 hektare namun bisa jadi pohon yang dibabat bisa mencapai 1.000 hektare.

Hal tersebut sering kali tidak terdeteksi karena masalah kewenangan. Tidak hanya terjadi di Kalimantan atau Sumatera yang memiliki areal hutan luas, tapi juga di Jawa yang padat penduduk pun terjadi.

“Jangan jauh-jauh di sini saja Jawa Barat penambangan batu pakai bom dibiarkan, penambangan pasir dibiarkan, semua tidak peduli. Kok tidak peduli karena berbicara kewenangan," katanya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com