Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Masker, Susu Beruang hingga Minyak Goreng, Kenapa Orang Mudah Panic Buying?

Kompas.com - 22/01/2022, 11:58 WIB
Maya Citra Rosa

Penulis


KOMPAS.com - Selama pandemi Covid-19, fenomena panic buying sering terjadi di Indonesia.

Untuk diketahui, panic buying merupakan tindakan membeli sejumlah besar produk atau komoditas tertentu, karena ketakutan tiba-tiba akan kekurangan atau terjadi kenaikan harga di waktu yang akan datang.

Di Indonesia, beberapa barang menjadi sasaran panic buying karena dianggap sulit ditemukan hingga langka.

Seperti hal pertama kali virus corona masuk ke Indonesia, masker, hand sanitizer, temulawak hingga susu beruang pernah ramai-ramai dibeli bahkan adanya indikasi penimbunan barang.

Selain itu, baru-baru ini harga minyak goreng yang melambung hingga Rp 28.000 per liter mulai dicari oleh warga.

Sehingga ketika pemerintah mensubsidi dan memberlakukan kebijakan minyak goreng dengan satu harga di seluruh Indonesia sebesar Rp 14.000 per liter.

Warga membludaki toko dan waralaba untuk mendapatkan minyak goreng harga murah.

Berdasarkan informasi dari Kementerian Perdagangan, kebijakan ini tidak hanya dibuka beberapa hari atau minggu saja, melainkan 6 bulan lamanya.

Baca juga: Fenomena Panic Buying di Indonesia, dari Susu Beruang hingga Minyak Goreng

Namun, nyatanya panic buying tidak bisa dihindarkan di hari pertama pemberlakuannya. Banyak toko langsung kehabisan stok minyak goreng. Sebagian masyarakat tidak kebagian.

Lantas, kenapa orang mudah panic buying?

Melihat fenomena panic buying semacam ini, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) memandang ada beberapa aspek yang perlu disorot.

Lemahnya edukasi dan kebijakan dari pemerintah

Pertama adalah lemahnya pemahaman konsumen terkait panic buying.

"Edukasi dan kesadaran masyarakat perlu terus ditingkatkan oleh semua pihak, berkaca dari banyak kejadian- sebelumnya," kata anggota Pengurus Harian YLKI Agus Suyatno, saat dihubungi Kompas.com, Kamis (20/1/2022).

"Panic buying bukan tindakan yang smart, baik dari sisi ekonomi dan sosial," lanjut dia.

Tak hanya di pihak konsumen, Agus juga melihat kebijakan yang dibuat pemerintah kurang spesifik dan lemah dalam pengawasan.

"Tidak ada yang salah dalam pemberian subsidi, namun jika tidak diimbangi dengan mekanisme dan pengawasan yang kuat di lapangan, justru akan menimbulkan masalah baru," jelas Agus.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com