Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini Penyebab Masih Ada Obat Keras yang Dijual Tanpa Resep Dokter

Kompas.com - 21/01/2022, 11:26 WIB
Kompasianer Irmina Gultom,
Farid Assifa

Tim Redaksi


KOMPAS.com - Teman-teman sejawat yang bekerja di bidang Farmasi Komunitas (terutama di apotek) pasti pernah bertemu pasien yang agak memaksa membeli obat golongan keras tanpa resep dokter.

Contoh kasus yang banyak ditemukan misalnya pembelian antibiotik, antihipertensi, antidiabetik, dan lainnya.

Di satu sisi, sejawat mengerti peraturannya. Jika melanggar, ada sanksi yang menghantui. Tapi di sisi lain ada keinginan untuk membantu pasien dan kepentingan profit usaha. Farmasis jadi sering merasa dilema. Kira-kira merasa relate?

Baca juga: Cerita Dokter S, Sarjana Pendidikan Agama yang Racik Obat Tanpa Resep, Dijual Rp 2.500 Per Paket, Kini Jadi Tersangka

Ada pertanyaan yang kerap terlontar dari sebagian masyarakat, yakni "Kalau obat keras hanya dapat diperoleh dengan disertai resep dokter, faktanya kenapa masih ada obat keras yang dijual tanpa resep dokter, bahkan dijual bebas secara online?"

Bisa jadi penyebabnya dipengaruhi salah satu di antara ini:

1. Regulasi vs profit usaha

Bicara soal sarana pelayanan kefarmasian bukan hanya soal pemenuhan regulasi, tapi juga profit usaha. Berusaha di bidang pendistribusian obat, tentunya tidak bisa disamakan dengan komoditi lainnya. Ada persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh sarana.

Sebagai contoh, persyaratan pendirian apotek antara lain: bangunan harus bersifat permanen; tersedia ruang untuk menerima resep, ruang racik, penyerahan sediaan farmasi dan alkes, konseling, penyimpanan obat, dan ruang arsip; tersedia prasarana memadai (instalasi air bersih, listrik, tata udara, dan proteksi kebakaran); dan pastinya memiliki apoteker penanggung jawab yang full time standby dan didampingi/tidak oleh Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK). Nah, untuk memenuhi persyaratan ini tentu membutuhkan modal dan cost operasional yang besar.

Harga yang dikenakan pada pelayanan resep dan racikan bisa jadi lebih mahal dari penjualan Daftar Obat Wajib Apotek (DOWA), obat bebas, obat bebas terbatas, suplemen kesehatan, obat tradisional, dan alat kesehatan.

Tapi masalahnya jika jumlah pelanggannya tidak sesuai target, tentu balik modalnya berat bukan?

Apalagi pembelian obat bebas, obat bebas terbatas, suplemen kesehatan, dan obat tradisional bisa kita lakukan juga di toko obat dan toko retail seperti minimarket dan supermarket yang jumlahnya lebih menjamur dari apotek. Tentu apotek harus bersaing dengan ketat, bukan?

Secara perizinan, persyaratan pendirian toko obat boleh dibilang sedikit lebih ringan. Salah satunya tidak mewajibkan apoteker sebagai penanggung jawabnya. Tenaga teknis kefarmasian boleh menjadi penanggung jawab teknis karena toko obat tidak diperbolehkan menjual obat keras dan melayani resep dokter.

Tapi kenapa tetap saja masih ada toko obat yang menjual obat keras? Ya, balik lagi ke masalah profit tadi.

Dengan segala keterbatasan, pemilik toko obat juga harus memutar otak supaya bisnisnya dapat berjalan. Salah satunya dengan menyediakan commodity consumer good lainnya.

Mulai dari susu, kosmetik, toiletries, dan lainnya. Nah, tidak sedikit juga yang nakal dengan menjual obat keras, walaupun mungkin yang dijual tidak sampai golongan '3 Diva' alias NPP (narkotika, psikotropika, dan prekursor).

2. Akses untuk memperoleh obat di daerah 3T

Meskipun saat ini teknologi sudah berkembang pesat dan fasilitas pelayanan kefarmasian sudah sudah banyak bertambah, tidak bisa disangkal bahwa akses masyarakat terhadap ketersediaan obat dan fasilitas pelayanan kesehatan masih terbatas terutama di daerah 3T (terdepan, tertinggal, terluar).

Misalnya ada seseorang yang sakit demam dan batuk di daerah terpencil seperti Onan Runggu (salah satu kecamatan di Pulau Samosir).

Tidak ada klinik. Jarak puskesmas terdekat pun cukup jauh. Satu-satunya tenaga kesehatan yang ada di sana hanya satu orang bidan dan kebetulan si bidan sedang pergi ke desa lain. Si pasien sudah minum obat batuk, namun tidak juga sembuh.

Pasien dibawa ke dokter pun jaraknya sangat jauh, yakni di rumah sakit terdekat di Pangururan yang jaraknya sekitar 50-an km.

Akhirnya keluarga pasien terpaksa membeli obat di toko obat di daerah Nainggolan yang berjarak sekitar 30 menit.

Di apotek itu, antibiotik tersedia dan bisa dibeli tanpa harus disertai resep dokter.

Tindakan tersebut memang tidak bisa dibenarkan karena salah secara aturan. Pertama, tidak ada diagnosis dari dokter sebagai dasar untuk menentukan obat yang diperlukan (dalam hal ini penggunaan antibiotik).

Kedua, seharusnya antibiotik tidak boleh diberikan tanpa ada resep dari dokter.

Ketiga, tidak menutup kemungkinan bahwa toko obat tersebut tidak menjual obat keras lainnya.

Tentu kita bisa membayangkan seperti apa kesulitan yang harus dihadapi pasien di daerah 3T? Itu baru perkara antibiotik, bagaimana jika obat keras yang diperlukan sangat darurat sementara nyawa pasien terancam?

Tidak menutup kemungkinan hal-hal seperti ini malah akan membuat posisi apoteker jadi sasaran empuk untuk dikenai sanksi kode etik.

3. Swamedikasi dan demand Konsumen

Apa itu praktik swamedikasi itu? Ketika kita mengalami sakit batuk-flu kemudian membeli obat batuk dan flu di toko obat atau apotek, hal itu sudah dapat disebut dengan swamedikasi.

Munculnya tren swamedikasi di kalangan masyarakat sangat dipengaruhi 3 faktor yang saling berhubungan, yaitu perkembangan teknologi, peningkatan pengetahuan masyarakat, dan meningkatnya akses terhadap obat.

Dulu sebelum semua serba online seperti saat ini, kita harus menempuh jarak tertentu untuk membeli obat di apotek atau toko obat.

Sekarang kita bisa dengan mudah membuat janji via telepon atau chat dari mana saja dan kapan saja.

Obat yang diperlukan akan disiapkan dan tinggal kita ambil atau bahkan bisa dikirim ke rumah.

Dengan adanya perkembangan teknologi tadi, masyarakat jadi lebih mudah memperoleh informasi mengenai gejala penyakit dan obat yang dibutuhkan. Di mana dan bagaimana cara memperolehnya, berapa harganya, dan lain sebagainya.

Selain itu, sarana pelayanan kefarmasian seperti apotek dan toko obat juga sudah menjamur di mana-mana (terutama di kota besar) sehingga masyarakat bisa lebih memperoleh obat dengan lebih mudah.

Selain 3 alasan tadi, maraknya tren swamedikasi juga sedikit banyak dipengaruhi oleh faktor internal, yakni dari pribadi masing-masing.

Baca juga: 6 Fakta Molnupiravir, Obat yang Diklaim Bisa Atasi Covid-19

 

Ada beberapa pasien yang tidak mau pergi dokter karena masalah rasa takut terhadap diagnosis dokter, biaya, waktu, dan kepraktisan, sehingga memilih untuk berswamedikasi.

Nah, masalahnya, golongan obat yang diizinkan untuk dijual dalam rangka swamedikasi hanya terbatas pada obat dot hijau, biru, Suplemen Kesehatan dan Obat Tradisional saja. Tapi ada juga pasien yang merasa 'sudah tahu' dan 'sudah biasa' menggunakan obat keras tertentu untuk penyakitnya (bisa jadi karena sebelumnya pernah diresepkan oleh dokternya).

Jadi masih berkaitan dengan profit tadi dan sesuai ilmu ekonomi, supply akan selalu ada selama ada demand bukan?

Artikel ini sudah tayang di Kompasiana dengan judul Mengapa Masih Ada Obat Keras yang Dijual Tanpa Resep Dokter?

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com