Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Makna Sesajen dan Belajar Cara Dakwah dari Wali Songo

Kompas.com - 15/01/2022, 11:27 WIB
Artika Rachmi Farmita

Penulis

KOMPAS.com - Sesaji atau biasa disebut sesajen masih menjadi tradisi yang masih dipraktikkan sebagian masyarakat Indonesia.

Sesajen amat lekat dengan praktik upacara adat melalui selamatan atau kenduri untuk berbagai keperluan.

Upacara selamatan atau kenduri umumnya diselenggarakan untuk memperingati orang meninggal, pernikahan, upacara kehamilan hingga kelahiran bayi, dan sebagainya.

Selain doa bersama yang dipimpin tokoh yang dituakan, sesaji berupa makanan akan menjadi pelengkap bergantung tujuan upacara adat.

Tak heran apabila terdapat sebagian masyarakat yang tak terima ketika sesajen ditendang di Gunung Semeru karena dianggap tak sesuai kepercayaan si pelaku, HF (31).

Lalu, sebenarnya apa makna sesaji?

Baca juga: Pria Penendang Sesajen di Lokasi Erupsi Gunung Semeru: Saya Minta Maaf

Sesajen, cara komunikasi harmonis dengan alam

Antropolog Argo Twikromo menyampaikan, pada umumnya bagi masyarakat Jawa, sesaji adalah hal yang biasa dalam kehidupan sehari-hari.

Sesajen amat terkait dengan pemahaman atau pandangan masyarakat Jawa itu sendiri tentang dunia ini.

"Kehidupan di dunia ini dijalani dengan bagaimana kita menciptakan hubungan yang harmonis dengan cara menjalin relasi-relasi harmonis," kata Argo kepada Kompas.com, Senin (10/1/2022).

Ia mengatakan, relasi harmonis itu ialah antara manusia dengan sesama, alam, maupun Tuhan.

"Alam ini bagi masyarakat Jawa, bisa yang kasat mata atau tidak kasat mata," ucap Argo.

Menurut Argo, masyarakat zaman dulu cenderung percaya adanya "penghuni" atau sejenisnya yang mendiami suatu tempat, sehingga merasa perlu menjalin komunikasi yang harmonis, layaknya menjalin hubungan baik dengan tetangga.

Maka dari itu, dilakukan pemberian sesajen yang isinya akan disesuaikan dengan tempat peletakannya.

"Jadi sesaji itu memberi sesuatu yang tepat, ataupun mungkin ketika masyarakat mengenal daerah itu, apa ya kira-kira yang tepat di situ, mungkin bentuk sesajinya akan berbeda-beda," sambung Argo.

Kendati demikian, sambung Argo, apa pun bentuk dan istilahnya, sajen tetaplah menjadi esensi kehidupan tentang bagaimana manusia membangun relasi yang selaras dengan alam.

Apabila memberikan sesuatu yang baik, pasti berharap timbal balik yang baik pula, termasuk menjaga keselamatan bersama.

Baca juga: Makna Sesaji dalam Kehidupan Masyarakat Jawa, Tidak Selalu Berarti Menyembah

Tidak melulu tentang menyembah

Argo melanjutkan bahwa pemberian sesajen tidak selalu berhubungan dengan sesuatu yang "menyembah".

Melainkan kembali lagi pada tujuan sebenarnya yang diturunkan oleh leluhur, yaitu bagaimana manusia bisa berhubungan secara harmonis dan selaras dengan alam.

Sehingga bagaimanapun perkembangannya, tradisi sesajen akan ikut terus dalam kehidupan manusia.

Belajar toleransi dari Wali Songo

Pemaknaan sesajen juga perlu dilihat dari aspek komunikasi dan sejarah.

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya, Akhmad Muwafik Saleh menyatakan, perilaku penendang sesajen yang viral tak mencerminkan kegiatan dakwah yang pernah dilakukan Wali Songo.

Dari sudut pandang komunikasi dakwah, hal itu kurang tepat dan jauh dari sikap bijaksana.

Baca juga: Mengenal Wali Songo, Nama Lengkap, dan Wilayah Penyebaran Agama Islam di Jawa

“Dari sinilah kita kemudian memahami mengapa dakwah wali songo lebih mengedepankan sikap toleransi atas keberagaman keyakinan masyarakat Jawa saat itu,” ucapnya, dilansir dari rilis FISIP UB.

Akhmad menuturkan, Wali Songo saat itu tidak menyalahkan dan membumihanguskan keyakinan yang telah kokoh tumbuh di tengah masyarakat.

“Mereka juga tidak melakukan akrobasi tendangan sesajen seperti yang viral saat ini,” tutur pria yang juga pengasuh Ponpes Mahasiswa Tanwir Al Afkar ini.

Muwafik tak membayangkan jika kemudian dulu Wali Songo juga membuang sesajen yang sudah menjadi kebiasaan atau budaya saat itu. Maka tentu yang muncul adalah penolakan terhadap agama Islam.

“Kalau seperti itu pasti ada resistensi dari masyarakat tidak hanya pada keberadaan para pendakwah tersebut bahkan terhadap agama Islam,” imbuhnya.

Dia menilai jika ada kelompok masyarakat yang melakukan tindakan sosial yang dianggap menyalahi syariat Islam maka hal itu adalah bagian dari sebuah proses budaya dan pemahaman nilai islam yang belum final.

Baca juga: Dosen UB: Penendang Sesajen Gunung Semeru Harus Berkaca ke Wali Songo

“Pada sisi inilah peran dakwah perlu dilakukan. Jangan petentang petenteng dalam melakukan dakwah Islam dengan mudah menyalahkan orang lain, membid'ahkan pemahaman yang berbeda bahkan mengkafirkan setiap yang berseberangan,” tambahnya.

Karena itulah, pria yang sedang menyelesaikan program doktor di UB ini meminta seorang dai agar dapat memperoleh penerimaan atas komunikasi dakwah yang dilakukannya.

“Karena sikap bijak dalam berdakwah tentu harus lebih diutamakan daripada semata menyampaikan pesan dakwah itu sendiri,” pungkasnya.

Sumber: Kompas.com (Penulis: Wasti Samaria Simangunsong, Sandra Desi Caesaria | Editor: Ayunda Pininta Kasih, Anggara Wikan Prasetya)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com