Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ramai Tagar #PercumaLaporPolisi, Kemana Sebaiknya Korban Pemerkosaan Mengadu?

Kompas.com - 09/10/2021, 06:05 WIB
Artika Rachmi Farmita

Penulis

KOMPAS.com - Warganet ramai-ramai memasang hashtag atau tanda pagar (tagar) #PercumaLaporPolisi. Tagar itu sebagai respons publik atas atas sikap polisi yang terkesan mengabaikan kasus dugaan pemerkosaan 3 anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan.

Kasus pemerkosaan oleh ayah kandung ini mengemuka ke publik setelah diberitakan oleh Project Multatuli dan dipublikasikan ulang oleh Kompas.com, Jumat (8/10/2021).

Kejadian pemerkosaan itu dialami pada tahun 2019. Meminta keadilan, sang ibu lalu mengadu ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Luwu Timur, dan Polres Luwu Timur karena berharap mendapat perlindungan.

Bukannya mendapat keadilan, kepolisian kepolisian di Luwu Timur malah menghentikan penyelidikan kasus tersebut. Penghentian itu bahkan dilakukan hanya dua bulan sejak ibu tersebut membuat pengaduan.

Belajar dari kasus tersebut, ada beberapa hal yang sebaiknya dipersiapkan sebelum mengambil langkah hukum atau mengadu ke polisi.

Baca juga: Kasus Tiga Anak Diperkosa Ayah di Luwu Timur, Ini Tanggapan Kementerian PPPA

Pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Lentera, Salawati Taher, membagikan saran apa saja yang perlu dipersiapkan korban kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan, sebelum melapor ke polisi.

1. Kumpulkan bukti-bukti

Salawati Taher mengatakan, pada dasarnya dibutuhkan minimum 2 alat bukti permulaan untuk satu perkara pidana. Ini diperlukan agar kasus bisa dilanjutkan dari tahap penyelidikan ke penyidikan.

Sebelum menjalani visum, korban kekerasan seksual diimbau mengumpulkan bukti-bukti berupa dokumentasi seperti foto dan video. "Bikin dokumentasi berupa foto atau rekaman video dengan jelas menyebutkan tanggal atau arahkan kamera ke kalender," ujar Salawati kepada Kompas.com, Jumat malam (8/10/2021).

Dokumentasi ini amat penting, apalagi jika kasusnya berhadapan dengan orang yang memiliki kuasa seperti pejabat. "Tujuannya agar ada alternatif untuk tambahan alat bukti apabila ada indikasi manipulasi saat visum," tutur dia.

Selain itu, agar bukti permulaan semakin kuat, saksi harus lebih dari satu orang. 

Berkaca dari kasus pemerkosaan di Luwu Timur, sedikitnya sudah ada satu orang ibu beserta 3 korban anak sebagai saksi. "Kalau bicara saksi ya seharusnya syarat saksi sudah terpenuhi," ucapnya.

Baca juga: Menteri PPPA Minta Kasus Pemerkosaan Tiga Anak oleh Ayah di Luwu Timur Didalami Utuh

2. Minta pendampingan Lembaga Bantuan Hukum

Setelah mengumpulkan bukti-bukti, korban pemerkosaan atau kekerasan seksual juga diimbau agar meminta pendampingan hukum. Terutama dari lembaga bantuan hukum yang berpihak pada isu-isu perempuan, misalnya LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK).

Alasannya, tak semua orang awam dengan bahasa hukum. Istilah-istilah hukum bisa membingungkan korban yang sudah membawa beban mental akibat kasus yang dialaminya.

"Sudah pusing dengan kasusnya, malah lebih pusing karena istilah-istilah hukum tidak biasa bagi masyarakat awam," kata Salawati.

Di samping itu, bagi korban, berhadapan langsung dengan polisi tanpa pendamping akan berat secara psikologis. 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com