KOMPAS.com - Belakangan, warganet di media sosial kerap membicarakan kondisi Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat yang kian sepi.
Meski menyandang status sebagai pusat perdagangan tekstil terbesar di Asia Tenggara, Pasar Tanah Abang kini semakin ditinggalkan pembeli.
Omzet pedagang pun turun drastis. Mereka satu per satu mulai menutup kiosnya.
Runtuhnya geliat bisnis di Pasar Tanah Abang tak lepas dari gempuran produk impor dan toko online yang sangat murah.
Baca juga: Kenapa Barang yang Dijual di Toko Online Lebih Murah dari Offline?
Bagaimana sejarah Pasar Tanah Abang?
Baca juga: Begini Wajah Tanah Abang yang Sepi Pembeli, Banyak Usaha Gulung Tikar dan Berhenti Beroperasi
Keberadaan Pasar Tanah Abang ternyata sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka, yakni abad ke-18.
Belum diketahui secara pasti asal-usul nama Tanah Abang. Diperkirakan, nama kawasan itu diambil dari sebuah bukit yang tanahnya berwarna merah.
Bukit itu dikelilingi rawa-rawa yang letaknya di sekitar Kali Krukut, catat Harian Kompas, 24 Februari 2003.
Kawasan itu mulai berkembang sejak saudagar kaya asal Belanda Justinus Vinck mendirikan sebuah pasar pada 1735.
Sebelumnya, kawasan tersebut merupakan daerah pertanian dan peternakan yang dimiliki orang China.
Saat itu, sebagian orang China memanfaatkan wilayah Tanah Abang untuk membuka kebun tebu dan penggilan tebu. Beberapa di antaranya menggunakannya sebagai lahan kebun kacang, jahe, melati, dan kebun siri.
Bekas lahan kebun itu sampai sekarang diabadikan untuk nama jalan di sekitar Tanah Abang.
Baca juga: Pasar Tradisional Jorok Penuh Tumpukan Sampah, Pakar Jelaskan Penyebabnya
Oleh Pemerintah Belanda, Pasar Tanah Abang diizinkan beroperasi setiap Sabtu. Hal yang sama juga berlaku di Pasar Senen yang beroperasi setiap Senin.
Komoditas yang diperdagangkan pun tak boleh sembarangan dan ditentukan Belanda.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.