Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Belajar Fokus dari Kearifan Zen

Kompas.com - 23/05/2023, 12:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEBAGAI aliran Buddhisme Asia Timur, Zen merupakan bentuk monastik arus utama Mahayana Buddhisme di Cina, Korea, Vietnam dan terutama di Jepang.

Konon istilah Zen berasal dari bahasa Sansekerta “dhyana”, yang berarti "meditasi" .

Di masa kini, Zen telah dikaitkan pada tradisi sekuler Jepang abad pertengahan seperti upacara minum teh, kaligrafi, ilmu bela diri dan berkebun dengan ekspresi spontan vitalitas artistik atau spiritual terlepas dari kaidah Buddhisme.

Selama periode sekitar abad ke-12 sampai ke-15, para biksu Zen memainkan peran utama dalam memperkenalkan kebudayaan China dinasti Song kepada para penguasa Jepang.

Ketika dinasti Ming (1368-1661) di China mulai runtuh, banyak biksu China mengungsi ke Jepang.

Selama paruh pertama abad ke-20, D.T. Suzuki, seorang cendekiawan dan pemikir Buddhisme Jepang, menulis banyak esai dan buku dalam bahasa Inggris untuk memperkenalkan kearifan Zen kepada masyarakat Barat.

Suzuki lahir tepat setelah Jepang mulai mengadopsi teknologi Barat dalam upaya mengejar ketinggalan dengan Eropa dan Amerika.

Suzuki sangat dipengaruhi oleh reformis Buddhis Jepang abad ke-19 yang berusaha untuk membuang apa yang mereka lihat sebagai struktur sosial feodal dari periode Tokugawa dan yang menganjurkan visi Buddhisme lebih modern agar setara sukses dengan agama Kristen.

Suzuki menghabiskan 11 tahun di Amerika Serikat pada 1897-1908, sebagai asisten Paul Carus, seorang Jerman yang telah memperoleh gelar doktor dalam teologi dan filsafat sebelum bermigrasi ke Amerika.

Selama periode ini, Suzuki juga dipengaruhi oleh arus intelektual kontemporer, seperti ide-ide teolog Protestan Jerman Friedrich Schleiermacher yang telah mengidentifikasi intuisi irasional dan perasaan sebagai esensi agama, serta filsuf Amerika William James yang mengedepankan kemungkinan pengetahuan nondualistik melalui "pengalaman murni" sebagai mengatasi dualisme yang melekat dalam empirisme.

Suzuki menafsirkan Zen bukan sebagai bentuk Buddhisme, tetapi sebagai nilai peradaban Jepang dengan relevansi universal.

Penggunaan konsep teologis dan filosofis Barat untuk menjelaskan pengalaman Zen dengan cara modern memengaruhi Nishida Kitar? dan para anggota aliran filsafat Jepang Kyoto.

Pada awal abad ke-20, banyak intelektual Jepang menggambarkan Zen sebagai esensi yang mendasari budaya Jepang atau sebagai bentuk unik spiritualitas Jepang.

Ketika masyarakat Jepang menjadi semakin militeristik selama tahun 1930-an dan 1940-an, deskripsi Zen menjadi mirip semangat Samurai yang lebih suka berperang, menuntut kesetiaan kepada negara, keberanian, dan ketenangan mental dalam menghadapi kematian.

Pada 1938, misalnya, Suzuki menggambarkan Zen sebagai "agama kekuatan kehendak" dan mengidentifikasi pelatihan Zen dengan Bushido dan ilmu pedang Jepang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com