HAMPIR setiap hari kita disuguhi berita tentang tindak pidana narkoba. Kasus narkoba paling menyita perhatian selama beberapa bulan terakhir adalah yang melibatkan Teddy Minahasa. Teddy Minahasa polisi berbintang dua (Irjen Pol) dan pernah menjabat kepala kepolisian daerah (Kapolda).
Teddy Minahasa telah divonis hukuman seumur hidup oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada 9 Mei 2023. Dia dinyatakan bersalah karena melanggar Pasal 114 ayat 2 UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Atas putusan tersebut, jaksa penuntut umum mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta pada 12 Mei 2023. Pihak Teddy Minahasa juga mengajukan upaya hukum banding.
Baca juga: Polri Setelah Kasus Teddy Minahasa, Banyak Hal Harus Dibenahi...
Vonis atas Teddy memang belum inkrach (berkekuatan hukum tetap). Namun bisa dipastikan Teddy akan tetap dinyatakan bersalah di tingkat pengadilan yang paling tinggi (kasasi) walau mungkin bobot hukuman berubah.
Setelah majelis hakim PN Jakarta Barat memvonis seumur hidup Teddy Minahasa, muncul silang pendapat di tengah masyarakat. Ada yang berpendapat, vonis seumur hidup terhadap Teddy sudah pantas.
Namun, ada yang berpendapat, seharusnya Teddy Minahasa divonis hukuman mati karena tindak pidana yang dilakukannya tergolong berat. Bahkan, ada yang berpendapat, kejahatan yang dilakukan Teddy jauh lebih berat dibandingkan kejahatan yang yang diduga dilakukan Irjen Pol (Purn) Ferdy Sambo.
Pasalnya, Ferdy Sambo hanya membunuh satu orang. Namun Teddy, dengan narkoba yang "dimainkannya", bisa membunuh jutaan rakyat Indonesia.
Peredaran narkoba di Indonesia sudah sangat marak, mulai dari kota-kota besar sampai masuk ke desa-desa. Para orang tua merasa cemas anak-anak mereka terseret atau terkena kasus narkoba.
Karena itulah, sejumlah orang menempatkan tindak pidana narkoba sebagai extraordinary crime (kejahatan luar biasa), disetarakan dengan tindak pindana terorisme. Namun menurut pakar pencucian Universitas Trisakti, Yenti Ganasih, secara internasional kejahatan narkoba masuk dalam serious crime, bukan extraordinary crime.
Baca juga: Soal Sidang Etik Teddy Minahasa, Polri Tunggu Putusan Pidananya Inkrah
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, jumlah korban meninggal akibat narkoba di Indonesia sangat besar. Setiap tahun, kata Presiden, 15.000 generasi muda mati karena narkoba.
Budi Waseso (mantan Kepala Badan Narkotika Nasional/BNN) menyebutkan, 40-50 orang per hari meninggal karena narkoba dan kerugian akibat narkoba mencapai Rp 63,1 triliun (Abimanyu, 2017:34).
BNN tahun 2015 mencatat, kematian karena narkoba mencapai 50 orang sehari. Masih menurut BNN, jumlah penyalahgunaan narkoba di Indonesia mencapai sekitar 3,5 juta orang pada 2017. Sekitar 1,4 juta di antaranya adalah pengguna biasa dan hampir 1 juta orang telah menjadi pecandu.
Mengapa peredaran narkoba marak dan korbannya hampir menyentuh semua lapiran masyarakat?
Pertama, aparat penegak hukum ikut “bermain” dalam kasus narkoba. Aparat yang bermain itu mulai dari tingkat penyidikan di polisi (polsek, polres, polda, bahkan Mabes Polri), sampai di tingkat penuntutan (jaksa) dan hakim.
Sejak tahun 2018 hingga 2021, Mabes Polri mengungkap keterlibatan anggota Polri dalam tindak pidana narkotika. Sebanyak 1.858 orang anggota polisi ditangkap dan ditindak.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.