BARU-BARU ini, saya mendapatkan sebuah hasil riset menarik mengenai profesi idaman masyarakat Asia Tenggara. Hasil riset tersebut menyatakan bahwa profesi impian masyarakat Indonesia adalah YouTuber. Profesi impian masyarakat di Malaysia adalah guru dan di Singapura penulis.
Hasil riset itu semakin menyadarkan saya bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya kurang suka membaca. Orang-orang di sekitar kita lebih betah berjam-jam mengamati linimasa media sosial ataupun menonton film dan televisi.
Saya juga jadi lebih memahami fakta mengapa industri penerbitan buku di Indonesia kurang begitu berkembang. Toko-toko buku banyak yang tutup permanen dan para penulis berteriak dengan tingginya pajak royalti.
Di sisi lain, jam mengakses internet masyarakat kita dari hari ke hari makin tinggi. Coba cek , berapa jam rata-rata waktu yang teman-teman kita habiskan untuk TikTok, YouTube, Instagram, Facebook, Twitter, dan semacamnya?
Baca juga: Menumbuhkan Minat Baca Siswa
Sebagai seorang penulis, kenyataan itu membuat saya miris. Bagaimana masa depan penulis? Apakah penulis profesional bisa hidup layak jika sepenuhnya fokus tanpa memiliki pekerjaan atau bisnis lain?
Masih adakah harapan bagi para penulis agar karya-karyanya dibaca di tengah gempuran teknologi digital yang disruptif?
Konon, leluhur orang Indonesia lebih suka bertutur dibandingkan dengan menuliskannya. Tak mengherankan berbagai dongeng atau cerita rakyat diturunkan dari generasi ke generasi hingga kini.
Di sisi lain, meskipun tingkat melek huruf relatif tinggi, statistik menunjukkan bahwa membaca buku bukanlah kegiatan populer di Indonesia. Dibandingkan dengan orang di negara lain dengan tingkat melek huruf yang tinggi, orang Indonesia yang mau membaca jauh lebih sedikit.
Sebuah studi tahun 2013 dari UNESCO menunjukkan, hanya 1 dari 1.000 anak di Indonesia yang senang membaca. Sebuah studi tahun 2018 dari PISA (Program for International Student Assessment) menunjukkan, skor membaca siswa Indonesia adalah 371 (dibandingkan dengan skor rata-rata 487), dan kemampuan membaca keseluruhan anak Indonesia berada di urutan ke-74 dari 79 negara OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development atau Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi) .
Temuan penelitian lainnya menunjukkan, kebiasaan membaca secara umum di era digital cenderung lebih tinggi daripada di masa sebelum ada internet. Hasil riset Universitas Kristen Indonesia (UKI) menemukan bahwa meskipun tidak membaca buku sesering siswa di negara lain, siswa Indonesia menggunakan internet untuk membaca, meskipun biasanya hanya untuk tugas sekolah.
Namun membaca untuk kesenangan atau untuk belajar di luar yang diwajibkan jarang terjadi.
Ada beberapa alasan mengapa kebiasaan membaca di Indonesia lebih rendah daripada di negara lain.
Pertama, faktor tradisi lisan: Di negeri kita, ada tradisi panjang berbagi cerita dan kebijaksanaan melalui kata-kata lisan, bukan melalui teks tertulis.
Kedua, budaya sekolah. Membaca umumnya dipandang sebagai kegiatan yang hanya untuk tujuan sekolah, dan membaca buku atas kemauan sendiri sering dianggap sebagai perilaku yang tidak biasa. Tak mengejutkan bahwa anak-anak yang suka membaca diberi label "kutu buku". Anak-anak yang berani berbeda dari kebanyakan mendapatkan perundungan hingga intimidasi.
Baca juga: Meningkatkan Minat Baca, Konten Visual Lebih Digemari Gen Z
Ketiga, persaingan dengan bentuk media lain. Masyarakat kita menggunakan media sosial, streaming TV/film, dan game online dengan sangat masif. Bentuk-bentuk media yang lebih interaktif dan visual ini seringkali dapat lebih langsung merangsang siswa dibandingkan dengan buku, yang membutuhkan tingkat fokus, konsentrasi, dan keterlibatan aktif yang lebih besar. Kehadiran teknologi agaknya membuat tingkat membaca anak-anak kita jadi berkurang.
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.