SEJARAH kerap kali didramatisasi agar lebih menarik disimak. Satu di antara dramatisasi sejarah yang paling termashur adalah foto di Pulau Iwo Jima, Jepang.
Foto itu menampilkan adegan dramatis para serdadu Amerika Serikat sedang gotong royong menegakkan tiang bendera Amerika Serikat di puncak gunung Suribachi yang terletak di barat daya pulau Iwo Jima sebagai benteng pertahanan Jepang.
Foto yang dijepret dengan kamera non-digital oleh fotografer United Press, Joe Rosenthal pada 23 Februari 1945 tersebut telah ternobatkan sebagai foto paling legendaris tentang Perang Dunia II.
Foto tersebut makin legendaris setelah pada 1945, Joe Rosenthal memperoleh Anugerah Pulitzer.
Bahkan kemudian foto legendaris tersebut dipakai sebagai model oleh Felix de Weldon ketika membangun Monumen Peringatan Perang Korps Marinir Amerika Serikat yang lokasinya berada di seberang Taman Makam Pahlawan Arlington, Washington, D.C.
Di masa kini para sejarawan sepakat bahwa sebagai karya seni fotografi, foto pengibaran bendera Amerika Serikat di Iwo Jima layak dianggap legendaris karena memang spektakular.
Namun sebenarnya foto tersebut di samping dipuja-puji juga cukup banyak dikritik akibat dianggap tidak merekam adegan bersejarah secara otentik sesuai dengan kenyataan yang terjadi.
Menurut pengakuan Joe Rosenthal sendiri, foto tersebut memang dibuat sehari setelah marinir Amerika Serikat berhasil merebut puncak Gunung Suribachi sebagai lokasi paling strategis untuk menguasai pulau Iwo Jima yang semula dikuasai tentara Jepang.
Karena belum sempat membuat foto adegan penaklukan bukit Suribachi, maka Joe Rosenthal meminta para serdadu medis secara khusus bergaya menegakkan tiang bendera Amerika Serikat untuk secara khusus difoto oleh Joe Rosenthal.
Foto itu kemudian dikirim ke media massa Amerika Serikat dan sekutunya untuk dipublikasikan ke seluruh dunia termasuk Indonesia yang pada masa itu masih disebut sebagai Hindia Belanda.
Berarti foto legendaris dari pertempuran Iwo Jima memang merupakan rekayasa adegan yang sengaja dilakukan bukan untuk berdusta atau ingkar kenyataan, namun demi menambah bobot dramatika pada suatu peristiwa bersejarah.
Sebelum teknologi fotografi hadir, di alam seni-rupa sudah sering dilakukan dramatisasi sejarah.
Misalnya adegan George Washington menyeberang Sungai Delaware pada 1776 dilukis oleh Emanuel Leutze pada tahun 1851.
Makna kronologis yang sama juga terkandung pada fakta Raden Saleh tahun 1857 melukis adegan Pangeran Diponegoro ditangkap secara curang oleh Letnan Jenderal VOC, Hendrik Merkus de Kock pada tahun 1830.
Terlepas dari kemelut polemik mengenai otentitas foto Iwo Jima, secara subyektif saya pribadi mengagumi dan menghormati Joe Rosenthal sebagai pencipta mahakarya fotografi jurnalistik yang memang luar biasa dramatis dan spektakular sehingga akan abadi dikenang sepanjang masa.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.