GLOBALISASI dan internet membawa banyak manfaat. Salah satunya adalah memberikan lebih banyak referensi bagi pemangku kepentingan dalam pembuatan kebijakan publik yang lebih efektif.
Namun, keuntungan itu tak datang tanpa tantangan. Arus deras informasi datang dengan berbagai berita tak benar, yang sering kita sebut hoaks.
Dalam konteks kebijakan publik, pembuat kebijakan justru berjibaku dengan kerumitan meladeni hantaman berbagai hoaks, ketimbang sibuk mengeksekusi strategi yang jelas didukung bukti. Dua kasus kebijakan publik bisa dijadikan ilustrasi, yaitu terkait Covid-19 dan reformasi subsidi bahan bakar minyak (BBM).
Baca juga: Penyebaran Hoaks dan Rendahnya Kemampuan Identifikasi Informasi
Pandemi Covid-19, diakui banyak pihak, tak punya preseden. Karena itu, berbagai pihak, berotoritas maupun tidak, ikut sama-sama menganalisis pandemi tersebut. Alhasil, informasi berbasis bukti muncul bersamaan dengan yang berbasis firasat. Kita ketahui bersama, jalan penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia sangat terjal.
Berbeda tapi serupa situasinya dengan upaya mereformasi (khususnya mengurangi subsidi) BBM. Berbagai bukti telah menyatakan, subsidi tak menguntungkan warga miskin. Subsidi BBM juga memperburuk perubahan iklim.
Namun banyak informasi beredar bahwa kebijakan pengurangan subsidi BBM adalah wujud represi pemerintah terhadap masyarakat.
Gonjang-ganjing politik seperti pada 1998 dan 2012, dan berbagai demonstrasi akhir 2022 menunjukkan betapa dampak hoaks dalam kebijakan benar-benar nyata.
Soal kaitan hoaks dan kebijakan, menarik untuk membaca artikel tahun 1993 yang ditulis dua ahli Amerika Serikat (AS), Prof Phylis Johnson dan Prof Joe Foot. Dalam artikel berjudul Pranks and Policy: Martians, Nuclear Bombs and the 1992 Ruling on Broadcast Hoaxes, mereka menjelaskan bagaimana pada waktu itu sirkulasi hoaks via radio benar-benar meresahkan AS.
Di awal 1990-an, radio menjadi medium komunikasi yang masif di AS, sebagaimana internet di dunia saat ini. Sebuah stasiun radio mencoba menyimulasikan jatuhnya bom nuklir, tanpa ada pengumuman apapun sebelumnya. Pendengar radio itu panik dan akhirnya melayangkan berbagai komplain ke radio tersebut.
Baca juga: Jelang Pemilu 2024, Pentingnya Prebunking Bentuk Imunitas Masyarakat dari Penyebaran Hoaks
Stasiun radio lainnya membuat diskusi telepon palsu terkait pembunuhan. Pihak otoritas kadung mengerahkan sumber dayanya. Ujungnya, zonk.
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.