Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Taufan Teguh Akbari
Dosen

Pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & komunitas. Saat ini mengemban amanah sebagai Wakil Rektor 3 IKB LSPR, Head of LSPR Leadership Centre, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Pengurus Pusat Indonesia Forum & Konsultan SSS Communications.

Kepemimpinan Maritim dan Potensi Pengembangan "Blue Economy" Indonesia

Kompas.com - 24/03/2023, 11:48 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SESUNGGUHNYA, Indonesia bisa menjadi pemimpin maritim dunia atau setidaknya regional. Secara geografis Indonesia memiliki potensi maritim melimpah, yang bisa kita manfaatkan. Negara kita berada di antara Samudera Pasifik dan Hindia, dua samudera yang saat ini menjadi episentrum geopolitik dunia.

Sepanjang sejarah dunia pun, negara yang kuat memiliki wawasan dan kepemimpinan maritim yang kuat, seperti Britania Raya, Spanyol, Portugal, dan Amerika Serikat (AS). Raja-raja di Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit juga demikian. Kedua kerajaan ini terkenal karena penguasannya terhadap lautan Nusantara.

Baca juga: 9 Potensi Ekonomi Maritim Indonesia

Pemimpin Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit mengetahui seluk-beluk, potensi ekonomi, dan politik maritim Nusantara.

Sejarah dan Signifikansi

Dari sejarah kerajaan dan negara-negara tersebut, apa yang bisa kita pelajari tentang kepemimpinan maritim? Mari kita kembali mengingat Sumpah Palapa yang disampaikan Patih Gajah Mada.

Esensi dari Sumpah Palapa adalah cita-cita mempersatukan Nusantara. Awalnya, cita-cita itu dipandang sebelah mata, sampai akhirnya banyak wilayah dikuasai Kerajaan Majapahit.

Sejatinya, orang Indonesia memiliki budaya dan kepemimpinan maritim yang telah mendarah daging. Orang Bugis-Makassar misalnya memiliki semboyan yang disebut Kualleangi Tallanga Natowalia. Artinya, “Lebih kupilih tenggelam (di laut) daripada harus kembali (ke pantai).”

Hal itu menunjukkan bahwa leluhur-leluhur kita memiliki kepemimpinan maritim yang kuat. Kepemimpinan maritim Indonesia punya landasan historis dan kultural yang dapat dijadikan contoh. Pemimpin maritim Indonesia memiliki karakter yang khas.

Emil Salim, dalam buku Kepemimpinan Bahari: Sebuah Alternatif Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia (2011) mengungkapkan lima karakter penting menjadi pemimpin maritim. Lima karakter tersebut yaitu memberdayakan orang di sekitarnya, membangun dengan tepat, mengetahui kapan waktu yang tepat untuk bertindak, menempatkan orang-orang sesuai keahliannya, dan memiliki wawasan kelautan yang holistik.

Muhidin M Dahlan menambahkan nuansa kepemimpinan maritim. Dia mengelaborasi pendapat Ignas Kleden, yang mengelaborasi pemikiran antropolog Makassar, Mattulada.

Singkatnya, ada tiga aspek penting dalam kepemimpinan maritim. Pertama, pemimpin maritim tumbuh dari bawah, berdasarkan kredibilitas dan kompetensi. Kedua, pemimpin maritim mementingkan kepentingan orang banyak dibandingkan pribadi. Terakhir, pemimpin maritim membangun sistem birokrasi yang berasaskan meritokrasi, tidak diukur dari kedekatan, melainkan performa dan kompetensi.

Pendapat Emil Salim dan elaborasi pemikiran Mattulada menguak karakter pemimpin maritim Nusantara. Namun, kita perlu memperluas konteks kepemimpinan maritim. Saat ini, zaman di mana hukum laut telah berkembang dan batas negara sudah ditentukan, menurut Ali & Ghazalie (2019), pemimpin maritim harus memiliki pemahaman tentang hukum laut, menghormati hak-hak internasional, menghapus praktik ilegal, mencegah segala pelanggaran hukum, serta menguatkan tata kelola kemaritiman.

Semua itu bertujuan agar Indonesia dapat memanfaatkan potensi maritimnya dalam segi ekonomi, politik, maupun budaya. Dengan demikian, kepemimpinan maritim berbicara bagaimana kita mengelola sumber daya kelautan dan memiliki wawasan terhadapnya.

Pemimpin yang mampu memberdayakan orang-orangnya mulai dari tingkat terbawah hingga teratas, serta pemimpin yang memiliki kemampuan untuk bertindak cermat dan dinamis untuk kepentingan orang banyak. Selain itu, kepemimpinan maritim membangun pola pikir yang adil dan membuka kesempatan seluas-luasnya untuk orang lain berkembang.

Baca juga: Strategi Pengembangan Ekonomi Maritim Indonesia

Sebagai tindak lanjut dari budaya dan kepemimpinan maritim yang telah melekat, pemerintah kita berupaya semaksimal mungkin untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara berbasis maritim. Pemerintah Indonesia mengenalkan konsep poros maritim dunia. Poros maritim dunia pada dasarnya adalah keinginan Indonesia untuk menjadi episentrum kegiatan kemaritiman dunia.

Upaya untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia telah dilakukan sejak zaman kemerdekaan. Ketika Indonesia merdeka, banyak upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengamankan wilayah laut Indonesia.

Deklarasi Djuanda yang dibuat tahun 1957 oleh Perdana Menter Ir H Djuanda merupakan cerminan dari terbangunnya kepemimpinan maritim kita. Perjuangan untuk membuat banyak negara mengakui Deklarasi Djuanda sangat panjang. Deklarasi tersebut nyatanya baru disetujui United Nations Convention of the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982. Deklarasi ini baru diakui dan diratifikasi oleh 60 negara tahun 1994.

Singkatnya, Deklarasi Djuanda merupakan perjalanan panjang yang kita nikmati hasilnya saat ini.

Kepemimpinan Maritim dan Blue Economy

Indonesia memiliki garis pantai 95.181 km dan merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia, dengan luas perairan laut 5,8 juta kilometer persegi, yang merupakan 71 persen dari keseluruhan wilayah Indonesia.

Kepemimpinan maritim merujuk pada kemampuan seorang pemimpin untuk memimpin dan mengelola organisasi atau tim di industri maritim, seperti perusahaan pelayaran, pelabuhan, atau lembaga pemerintah yang terkait dengan laut dan pelayaran.

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau 17.504, laut adalah penopang hidup bangsa Indonesia. Melalui laut, bangsa Indonesia menggantungkan kehidupan anak-cucu di masa depan.

Seorang pemimpin maritim harus memiliki pengetahuan dan pemahaman mendalam tentang aspek teknis dan operasional dari industri maritim, termasuk keamanan laut, navigasi, peraturan, pengelolaan risiko, dan manajemen krisis.

Ia juga harus memiliki keterampilan kepemimpinan yang kuat, seperti kemampuan untuk menginspirasi dan memotivasi tim, membuat keputusan yang tepat dan strategis, berkomunikasi dengan baik dengan anggota tim dan pemangku kepentingan, serta mengelola sumber daya secara efektif.

Pemimpin maritim juga harus mampu mengatasi tantangan yang unik dalam industri maritim, seperti perubahan cuaca yang cepat, kebutuhan akan keselamatan yang tinggi, dan situasi darurat di laut.

Karena itu, kepemimpinan maritim sering dianggap sebagai bentuk kepemimpinan yang sangat khusus dan membutuhkan keterampilan unik. Di era globalisasi ini, kepemimpinan maritim menjadi semakin penting karena perdagangan internasional semakin meningkat dan peran laut dalam ekonomi global semakin besar.

Pemimpin maritim yang efektif dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi kesuksesan organisasi dan keamanan serta kesejahteraan masyarakat yang bergantung pada industri maritim, atau kita sebut dengan ekonomi biru.

Ekonomi biru (blue economy) adalah konsep pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dengan memanfaatkan sumber daya laut dan pesisir secara optimal. Konsep ini mengusung visi untuk menciptakan ekonomi yang lebih kuat dan lestari yang memanfaatkan sumber daya laut dan pesisir secara bijaksana dan seimbang antara pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial, dan pelestarian lingkungan.

Ekonomi biru mencakup berbagai sektor ekonomi yang berhubungan dengan laut dan pesisir, seperti perikanan dan akuakultur, pariwisata, energi terbarukan, transportasi maritim, dan industri maritim lainnya. Konsep ini juga mencakup pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan dan perlindungan lingkungan laut.

Pengembangan ekonomi biru memiliki potensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dan menopang pertumbuhan ekonomi secara inklusif dan berkelanjutan.

Potensi Maritim dan Tantangannya

Potensi maritim Nusantara sangat besar. Kita punya salah satu chokepoint dunia, yaitu Selat Malaka. Selat Malaka sering dilalui kapal-kapal yang mengangkut komoditas strategis. Dampaknya akan besar apabila ada ancaman di Selat Malaka.

Jika melihat dari perspektif ekonomi, laut Indonesia memiliki sumber daya yang melimpah. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP, TB Haeru Rahayu, menyampaikan potensi kekayaan laut kita mencapai 1,33 triliun dollar.

Bayangkan, bagaimana jika pemerintah di masa depan mampu memaksimalkan kekayaan laut Nusantara untuk membuat masyarakatnya lebih sejahtera? Ini tentu akan mempercepat berbagai ramalan bahwa ekonomi Indonesia akan berada di lima besar dunia.

Namun, pemimpin maritim kita menghadapi beragam kendala untuk memanfaatkan potensi laut Indonesia. Menurut saya, ada tiga masalah krusial tentang maritim di Indonesia.

Salah satunya adalah banyaknya sampah di laut. Mengapa isu ini penting untuk pemimpin maritim kita? Menurut laporan APEC tahun 2020, kerugian Indonesia akibat sampah di laut sebesar 450 juta dollar. Angka ini fantastis.

Apa yang pemerintah Indonesia perjuangkan sejak lama berpotensi berkurang karena keberadaan sampah di lautan. Menurut WEF dan Ellen MacArthur Foundation, tahun 2050, jumlah sampah jauh lebih banyak dibandingkan ikan.

Baca juga: Indonesia Perlu Blue Economy, Apa Itu?

Isu illegal fishing juga tak luput dari permasalahan. Pemimpin maritim telah melakukan segala daya upaya. Sebagai contoh, Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2022 telah menangkap 97 unit kapal ilegal yang memasuki perairan Indonesia. Banyaknya kapal ilegal yang masuk ke Indonesia menjadi tantangan bagi pemimpin maritim di Indonesia. Menurut

Muhamad (2016), ada enam penyebab terjadinya illegal fishing di Indonesia, yaitu sarana dan prasarana pengawasan yang kurang, dana operasional pengawasan yang kurang, terbatasnya tenaga polisi perikanan, masih terbatasnya kemampuan nelayan dalam memanfaatkan potensi laut Indonesia, kemampuan memantau setiap gerak kapal patroli diketahui oleh kapal ilegal, dan kebutuhan sumber bahan baku yang terbatas.

Kita tidak bisa mengesampingkan persaingan geopolitik yang mengintai regional Indo-Pasifik. Negara-negara besar cukup mencurahkan energinya untuk menanamkan pengaruh di sini, mulai dari China, Australia, hingga Amerika Serikat (AS).

Indonesia yang “terjebak” dalam kondisi geopolitik itu mau tidak mau harus terlibat dalam persaingan ini. Tentu saja untuk memastikan bahwa Indo-Pasifik tidak menjadi wilayah perebutan, tetapi wilayah yang damai, inklusif, dan bebas.

Solusi Memanfaatkan Potensi Maritim

Untuk menjadikan Indonesia negara maritim yang kuat tentu membutuhkan proses panjang. Pemimpin maritim menghadapi berbagai tantangan untuk menjadikan Indonesia negara yang lebih maju dari sisi pengelolaan sumber daya, perbatasan, hingga politiknya.

Akan tetapi, masalah–masalah di atas bisa kita atasi bersama asal memanfaatkan potensi dan kekuatan yang pemimpin maritim miliki.

Saya mulai dari masalah geopolitik. Beberapa tahun lalu, Indonesia menginisiasi terbentuknya ASEAN Outlook for Indo-Pacific (AOIP) yang menekankan pentingnya kawasan yang damai. Menurut Staf Khusus Menteri Luar Negeri untuk Urusan Diplomasi Kawasan, Ngurah Sanjaya, AOIP akan menjadi landasan umum bagi internasional.

AS beberapa waktu lalu juga berkomitmen mendukung pandangan AOIP dan mengapresiasi keketuaan Indonesia di ASEAN. Dengan kata lain, Indonesia harus memanfaatkan modal diplomatik yang dimiliki. Terlebih, Indonesia negara dengan potensi yang besar. Dengan mendampuk amanah sebagai ketua, Indonesia bisa melakukan banyak hal.

Terkaitillegal fishing, Indonesia bisa mengajak kolaborasi dan kemitraan jangka panjang dengan negara-negara ASEAN untuk memerangi isu ini. Pemerintah bisa memberdayakan orang lokal sebagai pengawas atau pelapor menyiasati kekurangan tenaga pengawasan.

Kolaborasi seperti ini yang harus dijalin antara pemerintah dan rakyat. Pemerintah dapat memberikan insentif bagi masyarakat yang berkontribusi terhadap pengentasan illegal fishing.

Selanjutnya soal sampah. Pemimpin maritim tidak hanya pemerintah, tetapi juga komunitas atau organisasi. Setiap pemangku kepentingan punya peran penting di masing-masing lini. Kata kuncinya adalah kolaborasi.

Banyak komunitas yang telah melakukan berbagai upaya dan gebrakan untuk mengatasi sampah di lautan. Ada Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI), sebuah lembaga non profit yang mengajak masyarakat untuk lebih peduli dengan sampah plastik.

Tahun 2021-2025, ADUPI akan fokus ke beberapa hal: membangun simpul aktif, mengaktivasi pusat data dan informasi, dan membangun tim media dan promosi daur ulang plastik (DUP) di Indonesia.

Ada Indonesia Plastics Recycle (IPR) yang fokus mewadahi para pelaku usaha di bidang daur ulang plastik. Tujuan besar organisasi ini adalah menciptakan ekosistem daur ulang plastik yang harmonis dan berkontribusi dalam pelestarian lingkungan.

Masih banyak organisasi atau komunitas yang telah berbuat banyak di isu ini. Mereka semua adalah pemimpin maritim yang hebat dan ingin berbuat sesuatu untuk Indonesia.

Pegiat komunitas itu telah melakukan kolaborasi lintas sektor agar isu sampah plastik terselesaikan. Setiap aktor terkait perlu mendukung segala upaya pengentasan sampah plastik dengan menciptakan ekosistem dan menyediakan akses sumber daya yang dibutuhkan.

Baca juga: Riwayat Ekonomi Sirkular, Ada Target Zero Waste

Di atas itu semua, pemimpin maritim kita harus berkolaborasi dan membuat ekosistem yang dapat melanggengkan praktik ekonomi sirkular. Pemimpin maritim perlu menanamkan bagaimana konsep ekonomi sirkular dapat berdampak holistik, mulai dari lingkungan, sosial, dan ekonomi.

Bappenas, bekerja sama dengan UNDP dan pemerintah Kerajaan Denmark tahun 2021 mengeluarkan kajian tentang dampak ekonomi sirkular. Ada banyak manfaat positif dari  ekonomi sirkular, di antaranya pengurangan emisi lebih dari 1,4 juta ton CO2E, 14.270 orang tenaga kerja terserap, dan pengurangan sampah lebih dari 827 ribu ton.

Menjadikan Indonesia sebagai negara poros maritim memang bukanlah hal yang mudah. Akan tetapi, kita memiliki banyak pemimpin maritim yang punya visi yang luas dan komitmen untuk meningkatkan potensi maritim di Indonesia.

Sumber daya maritim Indonesia memiliki potensi besar untuk dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai sarana untuk mencapai kemajuan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Karena itu, dunia maritim Indonesia harus dijaga dan dikelola dengan baik, agar potensi sumber daya maritim dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan masyarakat Indonesia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com