SESUNGGUHNYA, Indonesia bisa menjadi pemimpin maritim dunia atau setidaknya regional. Secara geografis Indonesia memiliki potensi maritim melimpah, yang bisa kita manfaatkan. Negara kita berada di antara Samudera Pasifik dan Hindia, dua samudera yang saat ini menjadi episentrum geopolitik dunia.
Sepanjang sejarah dunia pun, negara yang kuat memiliki wawasan dan kepemimpinan maritim yang kuat, seperti Britania Raya, Spanyol, Portugal, dan Amerika Serikat (AS). Raja-raja di Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit juga demikian. Kedua kerajaan ini terkenal karena penguasannya terhadap lautan Nusantara.
Baca juga: 9 Potensi Ekonomi Maritim Indonesia
Pemimpin Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit mengetahui seluk-beluk, potensi ekonomi, dan politik maritim Nusantara.
Dari sejarah kerajaan dan negara-negara tersebut, apa yang bisa kita pelajari tentang kepemimpinan maritim? Mari kita kembali mengingat Sumpah Palapa yang disampaikan Patih Gajah Mada.
Esensi dari Sumpah Palapa adalah cita-cita mempersatukan Nusantara. Awalnya, cita-cita itu dipandang sebelah mata, sampai akhirnya banyak wilayah dikuasai Kerajaan Majapahit.
Sejatinya, orang Indonesia memiliki budaya dan kepemimpinan maritim yang telah mendarah daging. Orang Bugis-Makassar misalnya memiliki semboyan yang disebut Kualleangi Tallanga Natowalia. Artinya, “Lebih kupilih tenggelam (di laut) daripada harus kembali (ke pantai).”
Hal itu menunjukkan bahwa leluhur-leluhur kita memiliki kepemimpinan maritim yang kuat. Kepemimpinan maritim Indonesia punya landasan historis dan kultural yang dapat dijadikan contoh. Pemimpin maritim Indonesia memiliki karakter yang khas.
Emil Salim, dalam buku Kepemimpinan Bahari: Sebuah Alternatif Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia (2011) mengungkapkan lima karakter penting menjadi pemimpin maritim. Lima karakter tersebut yaitu memberdayakan orang di sekitarnya, membangun dengan tepat, mengetahui kapan waktu yang tepat untuk bertindak, menempatkan orang-orang sesuai keahliannya, dan memiliki wawasan kelautan yang holistik.
Muhidin M Dahlan menambahkan nuansa kepemimpinan maritim. Dia mengelaborasi pendapat Ignas Kleden, yang mengelaborasi pemikiran antropolog Makassar, Mattulada.
Singkatnya, ada tiga aspek penting dalam kepemimpinan maritim. Pertama, pemimpin maritim tumbuh dari bawah, berdasarkan kredibilitas dan kompetensi. Kedua, pemimpin maritim mementingkan kepentingan orang banyak dibandingkan pribadi. Terakhir, pemimpin maritim membangun sistem birokrasi yang berasaskan meritokrasi, tidak diukur dari kedekatan, melainkan performa dan kompetensi.
Pendapat Emil Salim dan elaborasi pemikiran Mattulada menguak karakter pemimpin maritim Nusantara. Namun, kita perlu memperluas konteks kepemimpinan maritim. Saat ini, zaman di mana hukum laut telah berkembang dan batas negara sudah ditentukan, menurut Ali & Ghazalie (2019), pemimpin maritim harus memiliki pemahaman tentang hukum laut, menghormati hak-hak internasional, menghapus praktik ilegal, mencegah segala pelanggaran hukum, serta menguatkan tata kelola kemaritiman.
Semua itu bertujuan agar Indonesia dapat memanfaatkan potensi maritimnya dalam segi ekonomi, politik, maupun budaya. Dengan demikian, kepemimpinan maritim berbicara bagaimana kita mengelola sumber daya kelautan dan memiliki wawasan terhadapnya.
Pemimpin yang mampu memberdayakan orang-orangnya mulai dari tingkat terbawah hingga teratas, serta pemimpin yang memiliki kemampuan untuk bertindak cermat dan dinamis untuk kepentingan orang banyak. Selain itu, kepemimpinan maritim membangun pola pikir yang adil dan membuka kesempatan seluas-luasnya untuk orang lain berkembang.
Baca juga: Strategi Pengembangan Ekonomi Maritim Indonesia
Sebagai tindak lanjut dari budaya dan kepemimpinan maritim yang telah melekat, pemerintah kita berupaya semaksimal mungkin untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara berbasis maritim. Pemerintah Indonesia mengenalkan konsep poros maritim dunia. Poros maritim dunia pada dasarnya adalah keinginan Indonesia untuk menjadi episentrum kegiatan kemaritiman dunia.
Upaya untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia telah dilakukan sejak zaman kemerdekaan. Ketika Indonesia merdeka, banyak upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengamankan wilayah laut Indonesia.
Deklarasi Djuanda yang dibuat tahun 1957 oleh Perdana Menter Ir H Djuanda merupakan cerminan dari terbangunnya kepemimpinan maritim kita. Perjuangan untuk membuat banyak negara mengakui Deklarasi Djuanda sangat panjang. Deklarasi tersebut nyatanya baru disetujui United Nations Convention of the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982. Deklarasi ini baru diakui dan diratifikasi oleh 60 negara tahun 1994.
Singkatnya, Deklarasi Djuanda merupakan perjalanan panjang yang kita nikmati hasilnya saat ini.
Indonesia memiliki garis pantai 95.181 km dan merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia, dengan luas perairan laut 5,8 juta kilometer persegi, yang merupakan 71 persen dari keseluruhan wilayah Indonesia.
Kepemimpinan maritim merujuk pada kemampuan seorang pemimpin untuk memimpin dan mengelola organisasi atau tim di industri maritim, seperti perusahaan pelayaran, pelabuhan, atau lembaga pemerintah yang terkait dengan laut dan pelayaran.
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.