Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Ancaman Kemarau Panjang 2023 dan Bahaya Kebakaran Hutan dan Lahan

Kompas.com - 21/03/2023, 10:09 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Kebakaran hutan dan lahan merupakan penyumbang ketiga terbesar (12 persen) penyebab terjadinya emisi karbon, setelah deforestasi (48 persen) dan transportasi (21 persen). Di bawahnya ada limbah pabrik (11 persen), pertanian (5persen), dan sektor industri (3 persen).

Karhutla yang terjadi di lahan gambut perlu diwaspadai karena peran hutan alam primer rawa gambut sangat sentral dalam menyerap karbon.

Baca juga: Potensi Pasar Karbon Syariah

Dalam laporan riset yang diterbitkan jurnal Nature Sustainability pada 18 November 2021, tim peneliti dari Conservation International, Amerika Serikat (AS) telah membuat peta terbaru bagian dunia yang memiliki konsentrasi karbon amat tinggi dan jika terlepas akan memicu bencana iklim.

Wilayah gambut di Kalimantan dan Papua termasuk yang memiliki konsentrasi karbon di Bumi. Kelompok peneliti yang dipimpin Monica L Noon itu menyebutkan, untuk menghindari bencana perubahan iklim dibutuhkan dekorbonisasi yang cepat dan pengelolaan ekosistem lebih baik pada skala planet.

Karbon yang dilepaskan melalui pembakaran bahan baku fosil akan membutuhkan waktu ribuan tahun untuk beregenerasi di Bumi. Monica dan tim menemukan wilayah di Bumi yang menyimpan karbon tertinggi dan harus dijaga, di antaranya adalah permafrost atau tanah beku di belahan utara Bumi termasuk Siberia dan kawasan rawa-rawa sepanjang pantai barat laut AS. Selain itu, Lembah Amazon, Cekungan Kongo, dan sebagain wilayah Kalimantan.

Untuk Indonesia, selain Kalimantan yang dipetakan menyimpan karbon yang sangat tinggi adalah Papua bagian selatan. Kawasan itu merupakan penyerap karbon alami dan dapat dianggap jadi sumber penyimpan sumber daya yang tidak bisa dipulihkan.

Sebab, jika karbon yang tersimpan dilepaskan oleh aktivitas manusia, butuh waktu berabad-abad bagi daerah itu untuk pulih. Jika karbon lepas, hal itu tidak dapat dipulihkan dalam jangka waktu tertentu, minimal selama 30 tahun.

Padahal emisi global harus mencapai emisi bersih pada 2050. Sejak tahun 2010, pertanian, penebangan kay,  dan kebakaran hutan melepaskan emisi karbon setidaknya empat gigaton (Gt) karbon yang tidak dapat dipulihkan.

Sisanya 139 – 443 gigaton (Gt) karbon dunia yang tidak dapat dipulihkan itu menghadapi resiko konversi penggunaan lahan dan perubahan iklim. Jika itu terjadi, bakal akan terjadi bencana iklim.

Alasan-alasan ilmiah dari riset yang di kemukakan di atas semakin memperkuat pentingnya upaya pemerintah Indonesia tidak hanya untuk memulihkan dan merestorasi gambut yang rusak, tetapi juga melindungi dan mempertahankan lahan gambut dari karhutla maupun deforestasi yang terus terjadi setiap tahun.

Apabila Indonesia mampu mengendalikan karhutla di musim kemarau, dengan sendirinya isu lingkungan yang dihembuskan negara maju otomatis akan hilang dan terbantahkan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com