Dalam ruang publik yang digagas oleh Habermas pada masa awal hanya bisa diakses oleh kaum Borjuis atau kelas menengah ke atas dan laki-laki.
Habermas mendefinisikan ruang publik sebagai “ruang di mana orang membaca, berdiskusi, dan menulis tentang opini, isu, dan ide di kedai kopi dan ruang pertemuan publik”.
Warnick dan Heineman (2012) dalam buku Rhetoric Online: The Politics of New Media menambahkan bahwa di lingkungan media kita saat ini, memungkinkan itu terjadi.
Alih-alih hadir secara fisik dalam diskusi publik, orang-orang saat ini dapat berpartisipasi untuk berkomunikasi satu sama lain untuk berbagi pemikiran dan pendapat tentang isu-isu sosial di dunia maya.
Dalam kasus Gitasav pun demikian. Hadirnya banyak diskusi yang membahas tentang pandangan hidup dan pilihan hidup dari Gitasav perlu diakui adalah hal yang menarik dan menyenangkan.
Walaupun pada sisi gelapnya adalah terdapat pihak-pihak yang menyerang bukan dari sisi argumentasi, namun menyerang dari sisi fisik, gender, bahkan menyinggung keluarga dan privasi.
Gitasav sebagai orang yang mengambil keputusan childfree hingga mengumumkan hal tersebut ke internet, seharusnya juga paham bahwa ketika orang memutuskan untuk terlibat dalam percakapan di media sosial, itu berarti mereka membiarkan diri mereka berkomunikasi satu sama lain.
Tulisan Luke Munn (2020 dalam esai berjudul Angry by design: toxic communication and technical architectures (dikutip oleh Chloë Arkenbout) menyatakan bahwa desain media sosial saat ini mengarahkan kita untuk selalu merespons apa yang ramai dan cenderung membangkitkan emosi.
Postingan dengan keterlibatan lebih tinggi akan menjadi prioritas dan akan muncul di linimasa terus menerus, sampai akhirnya diganti postingan dengan keterlibatan yang lebih tinggi lagi; sedangkan posting dengan skor lebih rendah dikubur atau dipinggirkan.
Karena itu, topik-topik kontroversial yang membangkitkan emosi dan amarah secara konsisten mencapai keterlibatan yang tinggi. Hal semacam ini yang kemudian memancing reaksi dan membentuk kubu-kubu berlawanan.
Tak terkecuali warga internet di Indonesia yang cenderung menyerang secara personal dan menjadikan platform media sosial untuk menekan pengguna lain yang kebetulan tidak sepemahaman atau tidak sejalan dengannya.
Di lain kasus media sosial ini tak jarang kita gunakan sebagai alat mendapat keadilan, kejelasan hukum, bantuan moral hingga menyelesaikan masalah yang kadang hanya bisa terjadi karena telah diramaikan di media sosial.
Jadi kita sebagai pengguna didorong untuk menjadi marah karena memang desain media sosial itu sendiri.
Dalam beberapa kasus ini berhasil dan baik. Sayangnya pada kasus lain kita terkesan memaksakan kehendak, dan terlihat sebagai kumpulan pengguna media sosial yang lebih cenderung memaksa orang untuk mengaku salah atas argumen pribadi yang telah disampaikan meskipun hal tersebut tidak sampai merugikan orang lain.
Walaupun memang kita tidak bisa menyalahkan desain media sosial melulu, sebab kemarahan juga adalah fenomena sosiologis, bahkan filosofis yang lebih luas.
Ketika diskusi berlangsung, kita sering memisahkan diri dengan lawan menjadi musuh, di mana orang lain dianggap berbeda, kemudian mempertanyakan identitas dan selanjutnya mengancam orang lain di media sosial, seperti kejadian yang menimpa Gitasav.
Perdebatan di media sosial–bahkan juga di media konvensional–tentang child free dan Gitasav, tak sedikit pengguna menyerang Gitasav sebagai perempuan dan dianggap mengampanyekan ajaran sesat.
Mungkin harapannya agar Gitasav bisa meminta maaf dan segera sadar akan pentingnya punya anak.