Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hery Wibowo
Ketua Program Studi Sosiologi FISIP Universitas Padjadjaran

Pengamat Sosial, praktisi pendidikan dan pelatihan

Ibu Kota Negara yang Baru dan Imajinasi Sosiologis

Kompas.com - 03/02/2023, 12:39 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

GENDERANG pembangunan ibu kota negara (IKN) yang baru, yaitu Nusantara, telah ditabuh. Semua perangkat legalitas sudah ditandatangani. Aktivitas fisik pembangunan jalan, bendungam, jembatan, dan gedung dimulai.

Perjalanan Indonesia menuju babak baru telah melesat dari garis star. Membangun kota baru, apalagi membangun ibu kota negara, tentu bukan sekedar membangun fisik bangunan yang tegak membisu.

Namun lebih jauh dari itu, yaitu upaya membangun tatanan kehidupan. Ini adalah membangun peradaban masyarakat baru, lengkap dengan strutkur norma dan nilai-nilainya.

Bagaimanakah fenomena ini ditelaah melalui imajinasi sosiologis? Imajinasi sosiologis merupakan kesadaran hubungan antara individu dengan masyarakat yang lebih luas, baik di masa kini maupun di masa lalu.

Dengan menghubungkan pengalaman individu dengan kehidupan sosial sepanjang waktu, imajinasi sosiologis membuat individu tidak lagi terperangkap dalam pengamatan individual. Melalui imajinasi sosilogis yang baik, individu akan mampu membangun analisa yang berbeda dari orang awam maupun para filsuf dalam memahami realitas sosial.

Baca juga: Otorita: Lebih dari 100 Orang Tertarik Jadi Investor di IKN

Salah satu amanah dari imanjinasi sosiologis adalah (membantu) merumuskan seperti apakah masyarakat yang baik itu (Wirutomo, 2022)?

Visi dari Ibu Kota Nusantara tentu adalah membangun ’masyarakat yang baik" atau paling tidak lebih baik dari sebelumnya. Jelas ini bukan perkara sederhana. Merumuskan dan mendefinisikan ’masyarakat yang baik’, bukan perkara mudah, apalagi jika melibatkan transdisiplin keilmuan.

Upaya untuk membangun rumusan yang disepakati bersama perlu terus dilanjutkan, demi menghasilkan (kondisi) masyarakat yang memang jauh lebih baik dari sebelumnya. Apalagi mengingat investasi untuk ibu kota negara yang baru itu begitu besar.

Seorang tokoh sosiologi, Max Weber, terkait isu ini menyatakan, “Truth can not be fully achieved, it can only be approached, our struggle is never ending and never complete”. Semangat yang perlu terus dibangun adalah pelibatan sebanyak mungkin pemikiran untuk menyatukan persepsi bersama.

Suatu contoh, sebagai ikhtiar membangun masyarakat yang lebih baik di Nusantara, yaitu bagaimana membawa ciri atau karakteristik umum penduduk desa, yang kental dengan keguyuban/paguyuban (gemeinschaft) ke dalam kota baru ini; bagaimana membawa kehidupan khas paguyuban yang dicirikan dengan keterikatan batin anggota masyarakatnya, kehidupan yang nyata dan organis ke dalam ruang/ranah ’perkotaan’, yang sering dicirikan sebagai patembayan (gesellschaft).

Karena itu dari tahap awal, masyarakat dikonstruksi tidak sebagai masyarakat yang mekanistis, terikat dengan ikatan timbal balik, kontrak kerja, asosiasi teknis yang memecah belah. Masyarakat mesti dibangun dari awal dengan suasana kekerabatan organis, yang dibangun dari hubungan batin yang mengikat.

Personal Troubles vs Public Sssues

Pada konteks sosiologis, personal troubles dimaknai sebagai permasalahan pribadi individu. Misalnya, pada sebuah kota berpenduduk 100.00 orang, terdapat satu orang penangguran. Maka ini adalah personal troubles, yang (kemungkinan besar) disebabkan oleh faktor pribadi seperti kemalasan dan kekurangtrampilan yang bersangkutan.

Namun ketika sebuah kota berpenduduk satu juta orang berusia produktif, namun 300 ribu di antaranya pengangguran, maka ini adalah public issues. Sebuah kota baru yang dirancang mampu memberikan kesempatan kerja dan kesejahteraan bagi warganya, tentu sedapat mungkin perlu mengatisipasi terjadinya public issues.

Baca juga: Akses ke IKN Dilengkapi Tol Bawah Laut, Jadi yang Pertama di Indonesia

Sebagai contoh, sudahkah dipertimbangkan peluang bekerja di sektor swasta dan wirausaha, bagi puluhan ribu calon pekerja baru yang mungkin saja akan bermigrasi membangun harapan baru di IKN Nusantara? Sudahkan diantisipasi masuknya sektor informal, seperti pedagang kaki lima (PKL)?

Prinsipnya, beragam potensi fenomena sosiologis dapat terjadi, sehingga beragam gagasan dan alternatif solusi perlu selalu dibangun.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com