DALAM rangka Hari Gizi Nasional pada 25 Januari ini, kita diingatkan tentang pentingnya peran protein terutama untuk pencegahan stunting. Hari Gizi Nasional 2023 bertemakan “Cegah Stunting dengan Protein Hewani”.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memiliki target untuk menekan angka stunting di Indonesia menjadi sebesar 14 persen di tahun 2024. Saat ini angka stunting Indonesia21,6 persen, telah turun dari 24,4 persen di tahun 2021.
Protein hewani dinilai berperan dalam mencegah stunting karena memiliki kandungan asam amino yang lebih lengkap dengan tingkat kecernaan yang baik karena tidak mengandung zat-zat anti-gizi yang dapat mengganggu proses penyerapan protein dalam tubuh. Beberapa pangan yang terkenal sebagai sumber protein hewani antara lain daging, susu, dan telur.
Baca juga: Manusia Masa Depan Mungkin Harus Makan Serangga dan Rumput
Namun daging, susu, dan telur dihasilkan dari peternakan yang notabene dapat menghasilkan efek gas rumah kaca (GRK) yang menjadi pemicu pemanasan global. Peternakan berkontrobusi pada efek GRK sebesar 18 persen. Di pulau Jawa, misalnya, peternakan sapi potong menyumbang 11.684 Gg CO2/tahun.
Saat ini, Organisasi Pangan dan Pertanian di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau FAO mengkampanyekan budaya makan serangga sebagai pengganti sumber protein hewani yang berkelanjutan.
Budidaya serangga terbukti menghasilkan efek GRK yang jauh lebih rendah dari peternakan pada umumnya, membutuhkan lahan dan air yang jauh lebih sedikit, dengan kandungan protein yang hampir setara dengan daging sapi sehingga menjanjikan untuk digunakan sebagai sumber protein hewani masa depan.
Selain itu, serangga memiliki kandungan lemak tidak jenuh yang tinggi dan dinilai lebih bermanfaat bagi kesehatan.
Sesungguhnya, budaya makan serangga sudah ada sejak dahulu. Namun budaya itu tergerus perkembangan zaman dengan adanya diversifikasi sumber pangan yang lain akibat kemajuan teknologi seperti teknologi pertanian dan peternakan yang lebih maju dan mampu menghasilkan sumber pangan yang lebih beragam.
Namun, saat ini kita dipaksa kembali untuk menghidupkan budaya entomofagi (memakan serangga) demi menjamin keberlangsungan kehidupan manusia melalui lingkungan yang sehat dan kebutuhan gizi yang dapat terpenuhi secara optimal. Hal ini tentunya tidak mudah dan masih menjadi tantangan mengingat anggapan masyarakat saat ini terhadap serangga yang merupakan makanan ekstrim, menggelikan, serta tidak lazim dikonsumsi.
Alergen pada serangga dan racun yang dihasilkan masih menjadi ketakutan masyarakat untuk mengonsumsi serangga. Belum lagi, beberapa kejadian yang menyoroti keracunan akibat mengonsumsi serangga meningkatkan ketakutan masyarakat.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.