Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Zackir L Makmur
Wartawan

Gemar menulis, beberapa bukunya telah terbit. Suka catur dan humor, tertawanya nyaring

Menyimak Permainan Politik dari Desa

Kompas.com - 21/01/2023, 10:08 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

UNDANG-UNDANG (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, khususnya Pasal 39 menegaskan bahwa masa jabatan kepala desa (kades) selama enam tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Petahana kades dapat menjabat lagi paling banyak tiga kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.

Namun puluhan ribu kades dari pelosok Indonesia berdemo di depan Gedung DPR, Jakarta pada 17 Januari 2023. Mereka menutut revisi UU tersebut agar masa masa jabatan kades diubah dari enam tahun menjadi sembilan tahun.

Gayung bersambut dari parlemen dan istana. Dari parlemen, Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia, menerangkan bahwa Komisi II mendukung penuh revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Komisi II juga telah mengusulkan revisi UU tersebut untuk masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI Periode 2019-2024 (Antara, 17/1 2023).

Baca juga: Demo Minta Masa Jabatan Ditambah Jadi 9 Tahun, Berapa Gaji Kepala Desa?

Dari Istana, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyetujui usulan masa jabatan kades dari enam tahun menjadi sembilan tahun. Hanya saja, untuk kelanjutan realisasi usulan tersebut diserahkan kepada pihak legislatif. Hal tersebut disampaikan politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Budiman Sudjatmiko, setelah bertemu Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta (Kompas.com, 17/1/2023).

Pesan dan Petuah

Tuntutan puluhan ribu para kades itu tidak hanya soal memperpanjang masa jabatan. Ada juga beberapa tuntutan lainnya, yakni moratorium pemilihan kepala desa, pejabat pelaksana yang ditugaskan, hingga permasalahan dana desa. Bila dipadatkan dalam bahasa yang konotatif, tuntutannya hanya menyakut dua hal: kekuasaan dan duit.

Sehubungan dengan kekuasaan, Soekarno, Presiden pertama Indonesia (1901-1970) berpesan: “Kekuasaan seorang Presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanya kekuasaan rakyat. Dan di atas segalanya adalah Kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.”

Menyangkut perkara duit (uang), penulis Amerika Serikat (AS), Mark Twain (1835-1910) berpetuah: "Bekerjalah bagaikan tak butuh uang."

Namun kekuasaan, apapun alasannya, kalau bisa tak ada batasnya. Lantaran kekuasaan adalah ukuran derajat kendali, sejauh mana derajat ini dimiliki untuk memengaruhi kehidupan dan tindakan orang-orang sekeliling maupun di wilayah teroterial –terasa begitu nikmat. Mungkin hanya orang bodoh yang tidak butuh kenikmatan ini.

Maka, pesan Soekarno tadi terasa mengiris psikologis, pedih, bilamana hal ini disandingkan dalam baki-baki tuntutan para kades tersebut. Oleh karenanya, pesan Soekarno dijebloskan ke dalam pengertian transendental, tidak kontekstual, dan banal. Lalu, lupakan.

Hal yang sama dengan petuah filosofis Mark Twain: sebuah petuah tanpa kesadaran, karenanya lupakan saja. Apalah artinya bekerja keras. Sudah susah payah menghilangkan malas, harus pula mematikan kesadaran motivasi mendapatkan uang. Maka dikesankan petuah ini hanya cocok buat para pemimpi, bukan para pemimpin.

Identifikasi Pemimpin

Sekalipun di desa, pemimpin adalah pemimpin, maka ia punya pengaruh. Pengaruh ini, karena di desa pula, bisa karena faktor keturunan (disnasti), partai politik, agama, maupun kapasitas sang subyek itu sendiri.

Setidak-tidaknya, semua faktor pengaruh itu dikapitalisasi. Proses ini harus dilalui dari skala kecil, umpamnya proses kerja bakti atau kegiatan sosial desa. Momentum ini adalah proses yang sangat sensitif, yang sangat dalam tersimpan dalam memori warga desa.

Bila di momentum itu warga hilang feeling, tidak simpatik, karena tokoh yang bersangkutan tidak responsif terhadap kegiatan, ini menjadi faktor minus. Keguyuban masayarakat desa dalam aksi sosial, sesungguhnya menjadi tes kemampuan seseorang hadir di tengah-tengah keguyuban itu untuk menanamkan pribadi yang pesona agar kelak punya “modal” calon kepala desa.

Jadi tidak main-main bahwa kepala desa pun adalah pemimpin, sebagai kepala pemerintahan desa yang memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa. Juga melaksanakan pembangunan, pembinaan dan pemberdayaan masyarakat desa.

Di wilayah Republik Indonesia ada 81.616 desa (BPS, 2022). Jadi dalam hitungan gampang: jumlah kades sebanding dengan jumlah desa.

Baca juga: Masa Jabatan Kepala Desa Menurut Undang-undang

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com