UNDANG-UNDANG (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, khususnya Pasal 39 menegaskan bahwa masa jabatan kepala desa (kades) selama enam tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Petahana kades dapat menjabat lagi paling banyak tiga kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.
Namun puluhan ribu kades dari pelosok Indonesia berdemo di depan Gedung DPR, Jakarta pada 17 Januari 2023. Mereka menutut revisi UU tersebut agar masa masa jabatan kades diubah dari enam tahun menjadi sembilan tahun.
Gayung bersambut dari parlemen dan istana. Dari parlemen, Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia, menerangkan bahwa Komisi II mendukung penuh revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Komisi II juga telah mengusulkan revisi UU tersebut untuk masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI Periode 2019-2024 (Antara, 17/1 2023).
Baca juga: Demo Minta Masa Jabatan Ditambah Jadi 9 Tahun, Berapa Gaji Kepala Desa?
Dari Istana, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyetujui usulan masa jabatan kades dari enam tahun menjadi sembilan tahun. Hanya saja, untuk kelanjutan realisasi usulan tersebut diserahkan kepada pihak legislatif. Hal tersebut disampaikan politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Budiman Sudjatmiko, setelah bertemu Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta (Kompas.com, 17/1/2023).
Tuntutan puluhan ribu para kades itu tidak hanya soal memperpanjang masa jabatan. Ada juga beberapa tuntutan lainnya, yakni moratorium pemilihan kepala desa, pejabat pelaksana yang ditugaskan, hingga permasalahan dana desa. Bila dipadatkan dalam bahasa yang konotatif, tuntutannya hanya menyakut dua hal: kekuasaan dan duit.
Sehubungan dengan kekuasaan, Soekarno, Presiden pertama Indonesia (1901-1970) berpesan: “Kekuasaan seorang Presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanya kekuasaan rakyat. Dan di atas segalanya adalah Kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.”
Menyangkut perkara duit (uang), penulis Amerika Serikat (AS), Mark Twain (1835-1910) berpetuah: "Bekerjalah bagaikan tak butuh uang."
Namun kekuasaan, apapun alasannya, kalau bisa tak ada batasnya. Lantaran kekuasaan adalah ukuran derajat kendali, sejauh mana derajat ini dimiliki untuk memengaruhi kehidupan dan tindakan orang-orang sekeliling maupun di wilayah teroterial –terasa begitu nikmat. Mungkin hanya orang bodoh yang tidak butuh kenikmatan ini.
Maka, pesan Soekarno tadi terasa mengiris psikologis, pedih, bilamana hal ini disandingkan dalam baki-baki tuntutan para kades tersebut. Oleh karenanya, pesan Soekarno dijebloskan ke dalam pengertian transendental, tidak kontekstual, dan banal. Lalu, lupakan.
Hal yang sama dengan petuah filosofis Mark Twain: sebuah petuah tanpa kesadaran, karenanya lupakan saja. Apalah artinya bekerja keras. Sudah susah payah menghilangkan malas, harus pula mematikan kesadaran motivasi mendapatkan uang. Maka dikesankan petuah ini hanya cocok buat para pemimpi, bukan para pemimpin.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.