SEBENARNYA ungkapan hutang budi bukanlah hal baru bagi penutur bahasa Indonesia. Hanya saja, banyak penutur (dalam hal tulis-menulis) menggunakan bentuk hutang budi yang menurut KBBI dianggap bentuk tidak baku.
Ungkapan utang budi baru-baru ini dimunculkan kembali seiring hangatnya pemberitaan terkait Ganjar Pranowo yang dianggap punya utang budi besar terhadap PDIP, terutama Puan Maharani.
Dulu, saat belajar di bangku sekolah dasar, kita sering diajarkan guru terkait ungkapan utang budi. Bahkan ada pepatah yang sering diulang-ulang guru berhubungan dengan ungkapan ini.
Utang emas dapat dibayar, utang budi dibawa mati. Sangat berat berurusan dengan utang yang satu ini, bukan?
Lantas, apa yang dimaksud oleh ungkapan ini dan konteks yang dimasukinya?
KBBI mendefinisikan utang budi sebagai ‘mendapat kebaikan hati dari orang lain dan wajib dibalas’.
Kebaikan hati merupakan sifat dasar manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Manusia diciptakan dengan hati yang baik. Manusialah yang menyebabkan hati itu rusak.
Misalnya, “sakit hatiku mendengar perkataannya”, “hatinya busuk sehingga semua perbuatan orang selalu salah di matanya”, “hatinya dipenuhi kedengkian pada orang lain”.
Jelas kalau hati yang baik menyebabkan si pemiliknya juga pasti melakukan hal-hal yang baik, misalnya memberikan kebaikan kepada orang lain.
Hati yang baik menyebabkan kebaikan yang diberikan bernilai keikhlasan tanpa pamrih. Jika hati yang baik memberi pertolongan pada orang lain dengan harapan mendapat balasan, minimal ucapan terima kasih, tentunya kebaikan hati perlu dipertanyakan.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.