Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ahmad Ashov Birry
Direktur Program Trend Asia

Aktivis Organisasi Non-Pemerintah/Direktur Program Trend Asia

Pendanaan Transisi Energi JETP Indonesia Harus Sejalan dengan Ambisi Komitmen Iklim

Kompas.com - 07/01/2023, 13:16 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KEMITRAAN Just Energy Transition Partnership (JETP) yang diluncurkan pada KTT COP 26 oleh Afrika Selatan dan International Partners Group (IPG) dapat dilihat sebagai sebuah momen bersejarah dalam upaya mendorong transisi energi berkeadilan.

Melalui pendanaan publik sebesar 8,5 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau setara Rp 132 triliun selama tiga hingga lima tahun dari kelompok negara maju, Afrika Selatan meretas kesempatan untuk mendorong penggunaan energi bersih dan melepaskan diri dari kecanduan energi fosil.

Indonesia kemudian menjadi negara kedua yang mengumumkan kerja sama JETP, tepatnya di KTT G20 pada November 2022. Dengan pembiayaan mencapai 20 miliar dollar (setara Rp 311 triliun), kemitraan ini saat itu diklaim sebagai investasi iklim terbesar sepanjang sejarah untuk satu negara.

Baca juga: AS Dukung Peluncuran Kemitraan Transisi Energi yang Adil (JETP) di Indonesia

Hanya berselang satu bulan, JETP Vietnam dikabarkan akan diluncurkan di KTT Uni Eropa-ASEAN pada Desember 2022 dengan nilai 15 miliar dolar atau setara Rp 233 triliun. India, Senegal, dan Tanzania juga dikabarkan tertarik untuk mengembangkan JETP mereka sendiri.

Lantas, apa yang membuat banyak negara tertarik dengan skema pembiayaan JETP?

JETP menjadi skema pembiayaan transisi energi yang unik karena adanya penekanan pada aspek keadilan atau just yang penting dalam upaya menghadirkan keadilan bagi masyarakat dan kelompok rentan yang akan terdampak langsung oleh proses transisi energi.

Siapakah mereka? Mereka adalah orang-orang yang bekerja dalam sektor energi fosil seperti pekerja tambang dan PLTU batu bara dan masyarakat yang keberlangsungan hidupnya bergantung pada industri tersebut.

Sayangnya, kepastian akan keadilan restoratif yang seharusnya menjamin pemulihan berbagai dampak negatif dari operasi industri fosil belum disebutkan dalam skema tersebut. Kehadiran JETP idealnya dapat mendorong proses transisi dari energi kotor fosil ke energi bersih terbarukan terjadi dengan lebih lancar, salah satunya dengan mendorong upaya reskilling dan upskilling bagi para pekerja di sektor tersebut dan mengompensasi upah mereka selama periode transisi.

JETP dapat juga digunakan untuk membantu mentransformasi wilayah-wilayah yang perekonomiannya masih bergantung pada industri energi fosil batu bara, suatu hal yang sangat krusial bagi negara seperti Indonesia. Terlebih, Indonesia juga sudah meratifikasi Perjanjian Paris (Paris Agreement) yang disepakati pada KTT COP 21 pada tahun 2015.

Melalui Perjanjian Paris, Indonesia dan negara-negara lainnya berkomitmen untuk mempercepat proses dekarbonisasi dan menjaga target suhu global pada level 1,5 °C melalui Nationally Determined Contribution (NDC) yang harus diperbaharui per lima tahun.

Ilustrasi energi bersih.SHUTTERSTOCK Ilustrasi energi bersih.
Apakah JETP Indonesia selaras dengan target Perjanjian Paris?

Pemerintah Indonesia telah memiliki target untuk mencapai ekonomi nol emisi pada tahun 2060 dan 2050 pada sektor energi. Proyeksi energi terbarukan dalam bauran energi nasional Indonesia adalah 34 persen pada tahun 2030.

Baca juga: Joe Biden dan Ancaman terhadap Transisi Energi Indonesia

Tentunya, target ini belum ambisius jika ingin menjaga suhu global pada level 1,5 °C. Ditambah, masih ada beberapa proyek PLTU batu bara baru yang masuk ke dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 yang dikeluarkan PLN.

Bagaimana kita mengetahui seperti apa target yang ambisius? Beberapa lembaga think tank telah mengeluarkan skenario Net Zero Emission (NZE) ideal yang sejalan dengan Perjanjian Paris dan seharusnya diikuti untuk mitigasi pemanasan global.

Dalam skenario International Energy Agency (IEA), sumber energi terbarukan dalam bauran energi nasional harus mencapai 60 persen pada tahun 2030, dengan target ekonomi nol emisi pada tahun 2050 dan sektor energi pada tahun 2040.

Peak emission (emisi CO2 mencapai titik teratas dan akan menurun) yang ideal dalam skenario ini sudah harus terjadi pada tahun 2030. Sedangkan skenario yang diluncurkan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) menyatakan bahwa energi terbarukan sudah harus mencapai 45 persen pada tahun 2030, dengan target nol emisi di sektor energi pada tahun 2045. Sehingga, peak emission harus sudah terjadi pada tahun 2025.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Rekomendasi untuk anda
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com