Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komarudin Watubun
Politisi

Komarudin Watubun, SH, MH adalah anggota Komisi II DPR RI; Ketua Pansus (Panitia Khusus) DPR RI Bidang RUU Otsus Papua (2021); pendiri Yayasan Lima Sila Indonesia (YLSI) dan StagingPoint.Com; penulis buku Maluku: Staging Point RI Abad 21 (2017).

Kebutuhan Akan Pengadilan Lingkungan Hidup

Kompas.com - 29/12/2022, 11:38 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

UNTUK pertama kali, tahun 2019, United Nations Environment Program (UNEP) merilis satu laporan khusus ‘Environmental Rule of Law’. Laporan itu menyingkap data bahwa hingga tahun 2017, sebanyak 176 negara telah memiliki perangkat-kerja hukum (legal framework) lingkungan, 187 negara memiliki ketentuan hukum analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), dan 123 negara memiliki alat hukum menerapkan amdal.

Sekilas seakan-akan terjadi revolusi ‘hak-hak lingkungan’ di seluruh dunia sejak Declaration of the United Nations Conference tahun 1972. Stockholm Declaration 1972 itu melahirkan pembentukan UNEP dan pengakuan hak warga negara atas lingkungan hidup sehat.

Sejak itu, hampir semua negara, menurut riset Weiss (2011:6) memiliki sekurang-kurangnya satu undang-undang (UU) dan peraturan lingkungan hidup.

Maka lahir era baru dunia jelang akhir abad 20, misalnya sejak 1980-an Eropa Barat dan Amerika Selatan merintis dan memelopori kelahiran undang-undang dasar (UUD) yang ramah-lingkungan dengan label ‘green constitutions’. UUD yang mewajibkan negara melindungi hak dan tanggungjawab warga-negara terhadap lingkungan yang sehat, bersih, dan aman.

Baca juga: Hal yang Harus Diperkuat dalam Pembaruan Hukum Lingkungan di Indonesia

Hingga tahun 2020, menurut riset Pepper et al. (2021:648), sebanyak 160 UUD negara memasukan ketentuan pokok dan prosedur perlindungan lingkungan.

Indonesia memasukan ketentuan konstitusional lingkungan hidup tahun 2000, ketika Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) memasukan ketentuan tentang hak asasi manusia (HAM).  Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 berbunyi: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

Sejak itu, lingkungan hidup baik dan sehat adalah HAM tiap warga-negara Indonesia.

Di sisi lain, Measey (2010:31) melaporkan bahwa Indonesia adalah pelepas gas rumah kaca terbesar di dunia dan kawasan yang sangat berisiko terhadap perubahan iklim. Kita juga baca laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 9 Agustus 2021 dari Geneva, Swiss tentang faktor perilaku dan tindakan manusia sebagai penyebab utama perubahan iklim.

Laporan IPCC itu menunjukkan bahwa penerapan hukum lingkungan belum efektif di seluruh dunia. Hal itu juga didukung oleh kajian Global Footprint Network (2021) bahwa hingga tahun 2017, sekitar 72 persen penduduk Bumi mengalami kekurangan pasokan sumber-sumber daya (alam).

Artinya, sekitar 5,4 miliar penduduk planet Bumi ketika itu tidak mendapat jaminan dan keamanan pasokan sumber daya alam atau hidup di negara dengan defisit daya-sangga ekosistem hayat-hidup (bio-capacity deficit).

Laporan IPCC adalah hasil kajian multi-disiplin, antar-disiplin, dan konvergensi disiplin dari 324 ahli perubahan iklim setebal 3.000 halaman. Jadi, lonjakan krisis iklim atau krisis lingkungan tidak dapat ‘diredam’ oleh UU dan peraturan lingkungan hidup. 

Kita juga baca laporan Komisi Eropa (2017:3) bahwa ada kesenjangan penerapan hukum lingkungan di negara-negara anggota Uni Eropa selama ini. Kesenjangan terjadi pada level penerapan dan penegakkan hukum tentang tata-kelola sampah, keberagaman-hayati, kualitas udara, air sehat, dan polusi atau ‘noise’.

Karena itu, kini tiba saatnya, Indonesia merancang pengadilan khusus lingkunan hidup. Sebab unsur pokok dan inti dari tiap negara-bangsa, termasuk Indonesia ialah rakyat dan tanah-air atau Bumi di bawah kakinya.

Ini geistlichen hintergrund para pendiri Indonesia, antara lain, tercantum dalam alinea 4 Pembukaan UUD 1945 tentang tugas Pemerintah Negara Indonesia yakni melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Kita baca pesan Prof Dr Soepomo (1945), anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) bahwa ‘pembangunan negara bersifat barang yang bernyawa.” Pilihannya ialah penerapan dan penegakan prinsip-prinsip negara hukum di bidang lingkungan hidup. Istilah populer perihal ini ialah environmental rule of law, bukan sekedar environmental law atau hukum lingkungan.

Rule of Law Lingkungan

Hukum lingkungan di tiap negara selama ini tidak efektif mencegah dan meredam risiko-risiko atau dampak perubahan iklim. Mengapa demikian?

Hasil riset UNEP (2019:3) menemukan bahwa meskipun hukum-hukum lingkungan sudah menjadi ‘arus umum’ di seluruh dunia, namun ketentuan-ketentuan hukum itu umumnya hanya berhenti di kertas, sebab peraturan dan penegakkannya tidak lengkap, tidak efektif, dan tidak berkelanjutan.

Kita sebut contoh bahwa negara-negara pelopor ketentuan perlindungan lingkungan ialah UUD Swiss (1971), Yunani (1975), Papua New Guinea (1975), Portugal (1976, dan Spanyol (1978). UUD negara-negara ini pertamakali mengakui hak lingkungan sehat.

Baca juga: Ihwal Penegakan Hukum Lingkungan

Namun, awal abad 21, kualitas lingkungan hidup negara-negara ini, belum memenuhi indikator kehidupan manusia dan lingkungan sehat-lestari (Prescott Allen, 2001), khususnya indikator air sehat, tanah sehat, udara sehat, dan keberagaman-hayati.

Maka kini dibutuhkan perubahan paradigma penegakan hukum lingkungan, yakni kelahiran filosofi dan pelembagaan prinsip-prinsip negara-hukum lingkungan yang lazim disebut enviromental rule of law atau ecological rule of law. Belchior (2017:101) menyebut bahwa rule of law lingkungan menerapkan dan menegakan nilai-nilai sosial, lingkungan, dan ekonomis dari model pembangunan berkelanjutan; prinsip kesetaraan warga-negara melalui kontrol penggunaan sumber-sumber daya alam secara hukum.

Prinsip pembangunan berkelanjutan telah tercantum dalam UD 1945, misalnya Pasal 33 ayat (4) UUD 1945: “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”

UUD 1945 juga mengakui kesetaraan tiap warga negara menurut hukum, prinsip negara hukum, dan hak hidup layak. Misalnya, Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menetapkan: “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menetapkan hak tiap warga-negara atas hidup layak.

Prinsip-prinsip yuridis tersebut di atas berisi ketentuan UUD tentang ecological rule of law. Sebab ketentuan-ketentuan yuridis tersebut di atas merupakan dasar hukum bagi keadilan lingkungan, khususnya penerapan dan penegakan prinsip substansi dan prosedur hukum perlingkungan lingkungan secara nasional.

Sisi krusial dan penentu penerapan dan penegakan prinsip-prinsip negara-hukum lingkungan, menurut Dinnebier (2017:88-134) dan Leite et al. (2018:19, 23) ialah perubahan pola pikir dan filosofi kehidupan bangsa dan interaksi antara manusia dan alam hayat-hidup, yakni perubahan dari ideologi individualisme-neolib yang memburu untung ke ideologi lingkungan untuk kepentingan umum sehat-lestari generasi kini dan generasi akan datang yang dijabarkan dalam norma, prinsip, strategi dan pelembagaan hukum.

Karena itu, efektivitas hukum lingkungan melindung bangsa dan tumpah darah negara, dapat diraih melalui penerapan pinsip negara-hukum (rule of law). Hasil riset dan kajian empirik Dunn et al. (2015:286-287), misalnya, menemukan bahwa penerapan prinsip rule of law mengakui, menjamin, dan melindung hak-hak lingkungan tiap warga-negara.

Begitu pula kajian IUCN (2016:1-2) dan Scott (2016:203) menyatakan bahwa efektivitas penerapan dan penegakan hukum lingkungan bukan hanya ditentukan oleh pengakuan hak-hak lingkungan secara yuridis, tetapi sangat ditentukan oleh penerapan dan penegakan prinsip negara-hukum menjamin dan melindung hak-hak lingkungan dari rakyat.

Tidak ada cara lain mencegah lonjakan biaya kesehatan dan lingkungan akhir-akhi ini, kecuali melalui penerapan prinsip-prinsip negara-hukum sektor lingkungan. Kita baca hasil riset Barreira (2019:2-3), biaya kerugian lingkungan dan kesehatan akibat polusi udara dari sektor industri Eropa mencapai 100 miliar euro tiap tahun; hanya ecological rule of law dapat mencegah lonjakan biaya ini dan melahirkan pertumbuhan-hijau (green growth).

Sangat banyak penelitian empirik akhir-akhir ini menemukan bahwa penerapan dan penegakan prinsip rule of law lingkungan dapat meredam dan mencegah krisis lingkungan dan melahirkan pembangunan berkelanjutan.

Apa saja risiko dan krisis lingkungan dapat diredam oleh penerapan dan penegakan prinsip negara-hukum sektor lingkungan? Para peneliti tersebut menyebut antara lain risiko air sehat, polusi udara dan tanah, deforestasi, kepunahan hayat-hidup liar dan spesies berisiko punah, desertifikasi, kesehatan masyarakat, rapuh ekosistem penyangga, dan risiko-risiko sosial-ekonomi lainnya.

Pengadilan Khusus Lingkungan

Awal abad 21, kita saksikan revolusi pengakuan hak-hak rakyat atas lingkungan hidup sehat. (MacLean, 2018:202; Jodoin, 2012: 132-133; Boyd, 2012:3-4) Kita juga saksikan lonjakan pertumbuhan pengadilan dan tribunal lingkungan. (Tun Lin, et al., 2009:1; Zaelke, et al., 2009:447)

Bahkan hasil riset Pring, et al. (2016:1) menyebutkan bahwa 44 negara memiliki 1.200 pengadilan dan tribunal lingkungan. Sasarannya ialah jaminan dan perlindungan hak-hak rakyat lingkungan, misalnya hak atas tanah, hutan, air, dan sumber-sumber daya alam.

Satu contoh kasus pengadilan Leghari di Pengadilan Tinggi Lahore, Pakistan.  Hakim Mansoor Ali Shah membuat keputusan berdasarkan perlindungan hak hidup menurut UUD Pakistan. Hakim membuat aturan baru menangani masalah hukum akibat pemerintah tidak melaksanakan kebijakan-kebijakan perubahan iklim atau pembangunan berkelanjutan.

Hakim Mansoor Ali Shah membantu satu Komisi Perubahan Iklim yang independen. Komisi itu melibatkan pemangku kepentingan, yakni lembaga swadaya masyarakat bidang lingkungan, pejabat pemerintah, dan ahli-ahli lingkungan. Komisi itu membuat laporan rutin ke pengadilan. (Carnwath, 2021:2)

Manfaatnya ialah menerapkan dan menegakkan aturan pemerintah terhadap hak lingkungan dan sehat-lestari ekosistem negara.

Contoh lain, keputusan Hakim Preston di Pengadilan Pertanahan dan Lingkungan New South Wales, Inggris, terhadap kasus Gloucester Resources. Pengadilan menguatkan penolakan izin tambang batu bara terbuka (Rocky Hill Coal Project) untuk memproduksi 21 juta ton batu bara selama 16 tahun. 

Ini adalah contoh litigasi perubahan iklim terhadap risiko proyek bahan bakar fosil yang berisi ideologi neo-lib dan filosofi individualisme.

Kasus serupa juga terjadi di Afrika Selatan tahun 2017. Pengadilan menolak proyek stasiun pembangkit listrik dengan bahan-bakar batu-bara dalam kasus EarthLife Africa Johannesburg vs Minister of Environmental Affairs.

Di Indonesia, hasil riset Nugraheni et al. (2022) menemukan bahwa penerapan dan penegakan hukum lingkungan dapat dilakukan melalui Hukum Perdata, misalnya penggugat mengajukan gugatan-gugatan perdata tentang kerugian materiil dan/atau non-materiil akibat kerusakan lingkungan sekitar wilayahnya. Maka hakim tidak hanya menerapkan Hukum Lingkungan, tetapi juga hal-hal berkaitan dengan peradilan lainnya.

Ada alasan lain tentang kebutuhan pengadilan khusus lingkungan hidup. Yakni pertama, tren global akhir-akhir ini ialah hidup sehat dan lingkungan sehat-lestari ialah HAM.

Menurut Kreilhuber et al. (2020:593), tren itu merupakan paradigma baru HAM dan lingkungan yakni pengakuan legal tentang saling-pengaruh dan pola hubungan antara HAM dan isu-isu lingkungan.

Paradigma baru HAM dan lingkungan tersebut adalah unsur pokok dari ecological rule of law bagi pembangunan berkelanjutan, standar baru hukum internasional, dan tata-kelola ekosistem suatu negara-bangsa. Sebab ecological rule of law melalui pelembagaan pengadilan khusus, misalnya, berguna menjamin dan melindung tiga pilar dan nilai simultan yakni nilai sosial, ekonomi, dan lingkungan negara.

Kedua, riset Anaya et al. (2001:14) dan Xanthaki (2003: 467, 2009:9) tentang risiko-risiko lingkungan menyebutkan bahwa banyak negara memasukan hak-hak masyarakat sekitar hutan dan pedalaman (indigenous people) ke dalam UU dan peraturan guna mengelola, merawat, dan mendapat benefit dari tanah, hutan, dan sumber daya alamnya.

Struktur masyarakat Indonesia adalah ciptaan kebudayaan Indonesia yaitu aliran pikiran atau semangat kebatinan bangsa Indonesia yang membedakan ciri dan karakter bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa dan negara lain.

Maka pengadilan khusus lingkungan hidup adalah bentuk pengakuan, jaminan dan perlindungan hukum terhadap hukum adat, karakter keagaman hayat-hidup per daerah, lahan adat, hutan sakral, kearifan lokal, masyarakat adat yang merawat hayat-hidup negara-bangsa RI selama ini. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 berbunyi: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com