Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Nita Trismaya
Dosen

Akademisi/Antropolog Kebaya

Kebaya di Belantara Politik

Kompas.com - 27/12/2022, 09:23 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BUSANA nasional, sebagaimana dikutip dari ‘Fashioning Identity from Antiquity to the Present: Dress and Ideology’, terikat dengan ideologi nasional yang dimaknai sebagai warisan ideologis mencakup nilai-nilai budaya yang hidup dan menjadi pegangan, seperti patriotisme, keberanian, dan nilai keluarga.

Ideologi nasional dalam pandangan Hans Kohn (1958) adalah sebuah paham kesetiaan tertinggi individu terhadap negara-kebangsaan, juga perasaan mendalam terhadap tanah tumpah darah, tradisi, dan penguasa.

Kebaya simbol perlawanan

 

Sebagai tradisi berpakaian, kebaya menjadi entitas ideologis ketika perempuan Indonesia menjadikan kebaya sebagai simbol perlawanan terhadap kuasa kolonial Belanda masa pra-kemerdekaan.

Baca juga: Kebaya Goes to UNESCO, Kebaya Goes to Street Style

Salah satunya diaplikasikan dalam ranah pendidikan perempuan saat Nyi Hajar Dewantara menganjurkan para pamong dan murid perempuan di asrama Wisma Rini khusus perempuan di Tamansiswa untuk memakai pakaian nasional, yaitu kebaya, sebagai salah satu bentuk perlawanan terhadap pengaruh budaya asing (Barat).  - (Kebangkitan Para Ibu Bangsa Sejak Masa Pergerakan Anti Kolonial Hingga Awal Kemerdekaan Indonesia; Ningrum, 2018)

Demikian juga Ki Hajar menyatakan, kebaya sebagai cara berpakaian perempuan di Tamansiswa meskipun pada masa itu kaum perempuan mulai menikmati perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan modern (Barat). Namun mereka diharuskan mengenakan kain-kebaya sebagai penghargaan terhadap budaya dan bentuk nasionalisme.

Setelah kemerdekaan Indonesia, kebaya dipilih Soekarno sebagai simbol yang mengandung semangat ‘pan-Indonesian’ untuk sebuah negara yang baru merdeka dan menyatukan heterogenitas budaya (Re-Invensi Batik Dan Identitas Indonesia Dalam Arena Pasar Global, Moersid, 2013).

Di masa Orde Baru, menurut Henk Schulte Nordholt (2005), kebaya yang dikenakan ibu negara sebagai atribut status dan kekuasaan yang mewakili ‘warisan kebudayaan’ Indonesia sekaligus menggambarkan sikap pasif perempuan dan subordinasi. Politisasi makna kebaya dikukuhkan melalui pemakaiannya di setiap perayaan Hari Kartini yang merepresentasikan konsep emansipasi dan kebangkitan kaum perempuan Indonesia . Walau sebagian kenyataan di lapangan justru menunjukkan domestifikasi peran perempuan.

Ditinjau dari politik dan identitas, kebaya kerap direpresentasikan sebagai hegemoni budaya Jawa meskipun sumber-sumber literatur menyebutkan tradisi berkebaya terdapat pula di luar Jawa, misalnya di Bali, Riau, Sumatera Utara, Minahasa, dan Maluku.

Sementara ditinjau dari perspektif feminisme, Julia Suryakusuma menilai kebaya sarat dengan kontradiksi, tergantung konteks di mana kebaya berada dan bagaimana digunakan. Dalam opening speech pameran video seni instalasi ‘Membaca Kebaya’ Victoria Cattoni (2003), Julia menggambarkan bagaimana kebaya menjadi media yang merangsang perempuan untuk berbicara mengenai dirinya sendiri, nilai-nilai masyarakat mengenai perempuan, dan realitas sosial-politik di mana perempuan berada.

Kebaya juga dipersonifikasikan sebagai pengorbanan perempuan yang rela tampil cantik. "Selain itu, cara pemakaian tertentu dari kebaya, yang serba ketat, menggunakan korset dan sanggul ‘sustainable hairdo’ yang dibentuk dengan sasakan dan hairspray…. identik dengan siksaan. Meski demikian, sudah lazim dimengerti bahwa wanita memang rela berkorban - dan disiksa- demi tampil cantik, dan itu bukan hanya melalui kebaya!” ujar Julia.

Kebaya mengartikulasikan otoritas atas tubuh

Pada tahun-tahun berikutnya, konteks kebaya ‘yang membelenggu’ mengalami proses transformasi di mana para perempuan menjadikan kebaya untuk mengartikulasikan otoritas atas tubuhnya melalui kebebasan mengenakan model kebaya yang mereka inginkan, juga menyuarakan kegelisahan mereka terhadap eksistensi kebaya sebagai busana nasional yang mulai pudar di tengah masyarakat.

Suara perempuan ini diinisiasi melalui gerakan berkebaya yang tumbuh semenjak tahun 2015. Mereka mengkampanyekan gaya berkebaya yang praktis dan nyaman untuk segala kegiatan, termasuk aktivitas olah raga seperti lari maraton, bersepeda, yoga, dan mendaki gunung.

Pemakaian kebaya yang sebelumnya identik dengan busana formal, busana pesta, dan busana upacara adat, kemudian berkembang menjadi pakaian sehari-hari yang sifatnya non formal dan lebih personal.

Baca juga: Komunitas Pencinta Kebaya Ingin Indonesia Ikut Joint Nomination UNESCO

Akhir-akhir ini, kebaya diusung sebagai simbol nasionalisme Indonesia dalam konteks gerakan Kebaya Goes to UNESCO yang bertujuan menggalang dukungan masyarakat sekaligus meminta pemerintah menjadi fasilitator pengajuan nominasi kebaya sebagai Intangible Cultural Heritage UNESCO.

Konsepsi nasionalisme menurut Benedict Anderson (1991) adalah nasion sebagai ‘an imagined political community’ dan yang dibayangkan baik terbatas secara inheren maupun berdaulat, sedangkan kata ‘imagined’ berarti ‘orang-orang yang mendefinisikan diri mereka sebagai anggota suatu nasion, meski mereka tidak pernah mengenal atau bertemu dengan orang lain yang warga negaranya sama, akan tetapi di dalam pikiran mereka telah hidup sebuah citra (image) tentang kesatuan komunitas bersama.

Tidak heran ketika akhir November 2022 Singapura secara resmi mengumumkan pengajuan kebaya melalui nominasi multinational ke UNESCO bersama Malaysia, Brunei, dan Thailand (tanpa mencantumkan Indonesia), netizen Indonesia seketika menggeruduk media sosial dengan beragam komentar yang sebagian besar mengobarkan kemarahan dan kekecewaan sekaligus perasaan senasib sebagai sesama orang Indonesia yang merasa aset budayanya terampas oleh negara lain.

Busana nasional memang kental dengan nuansa politik, kontroversi, hegemoni, kontestasi, resistensi, dan kepentingan aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. Perjalanan panjang kebaya sebagai busana nasional mencerminkan dinamika sosial politik sebuah negara sehingga penting untuk digarisbawahi; sebagaimana disebut dalam 'Fashioning Identity from Antiquity to the Present: Dress and Ideology', perubahan politik berdampak pula pada perubahan busana nasional rakyatnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com